Kamis, 19 Maret 2015

Masalah-Masalah Siswa di Sekolah serta Pendekatan-pendekatan Umum dalam Bimbingan dan Konseling



MASALAH-MASALAH SISWA DI SEKOLAH SERTA PENDEKATAN-PENDEKATAN UMUM DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING (STRATEGI BIMBINGAN DAN KONSELING)

A.                Masalah-masalah Siswa di Sekolah
Apakah yang dimaksud “masalah” (persoalan, problema)? Masalah ialah suatu yang menghambat, merintangi, mempersulit bagi orang dalam usahanya mencapai sesuatu. Bentuk konkrit dari hambatan/rintangan itu dapat bermacam-macam, misalnya godaan, gangguan dari dalam atau dari luar, tantangan yang ditimbulkan oleh situasi hidup. Masalah yang timbul dalam kehidupan siswa di sekolah beraneka ragam, diantaranya sebagai berikut:
1.         Masalah Perkembangan Individu
Setiap individu dilahirkan ke dunia dengan membawa hereditas tertentu. Hal ini berarti bahwa karakteristik individu diperoleh melalui pewarisan dari pihak orang tuanya. Karakteristik tersebut menyangkut fisik dan psikis atau sifat-sifat mental.
Hereditas merupakan aspek bawaan dan memiliki potensi untuk berkembang. Seberapa jauh perkembangan individu itu terjadi dan bagaimana kualitas perkembangannya, bergantung kepada kualitas hereditas dan lingkungan yang mempengaruhinya. Lingkungan merupakan factor penting disamping hereditas yang menentukan perkembangan individu.
Perkembangan dapat berhasil dengan baik, jika factor-faktor tersebut bisa saling melengkapi. Untuk mencapai perkembangan yang baik harus ada asuhan terarah. Asuhan dalam perkambangan dengan melalui proses belajar sering disebut pendidikan.
Tugas-tugas perkembangan ini berkaitan dengan sikap, perilaku atau keterampilan yang seyogianya dimiliki oleh individu, sesuai dengan usia atau fase perkembangannya. Hurlock (1982) mengemukakan bahwa tugas-tugas perkembangan merupakan social expectations (harapan-harapan sosial masyarakat). Dalam arti setiap kelompok budaya mengharapkan para anggotanya menguasai keterampilan tertentu yang penting dan memperoleh pola perilaku yang disetujui bagi berbagai usia sepanjang rentang kehidupan.

Dalam mencapai  tugas-tugas perkembangan ini, tidak sedikit yang mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor (1) tidak atau kurang adanya bimbingan untuk memahami dan menguasai tugas-tugas perkembangan, (2) kurang memiliki motivasi untuk berkembang ke arah kedewasaan, (3) mengalami kesehatan yang buruk (sakit-sakitan), (4) cacat tubuh, (5) tingkat kecerdasan yang rendah, dan (6) iklim lingkungan yang kurang baik.
Kegagalan mencapai tugas-tugas perkembangan ini akan melahirkan perilaku yang menyimpang (delinquency) atau situasi kehidupan yang tidak bahagia, penyimpangan perilaku yang dialami individu, sebagai dampak dari tidak tertuntaskannya tugas-tugas perkembangan akan bervariasi sesuai dengan fase perkembangannya.
Penyimpangan perilaku yang dialami anak berusia sekolah dasar diantaranya adalah (1) suka membolos dari sekolah, (2) malas belajar, dan (3) keras kepala. Pada usia remaja, penyimpangan perilaku yang dialaminya seperti (1) suka mengisolir diri, (2) meminum-minuman keras keras, (3) mengkonsumsi obat-obat terlarang atau narkoba, (4) tawuran, (5) malas belajar, (6) kurang bersikap hormat kepada orangtua dan orang dewasa lainnya. Sementara penyimpangan perilaku orang dewasa, diantaranya adalah (1) berselingkuh dengan istri/suami orang, (2) menelantarkan kehidupan keluarga (istri dan anak), (3) menjadi biang keladi kerusuhan (provokator) dalam masyarakat, (4) melakukan tindak criminal, dan (5) tidak melaksanakan perintah agama.
Masa belajar disekolah atau perguruan tinggi merupakan masa transisi, sebagai proses untuk mencapai kematangan, dan masa persiapan untuk mencapai kehidupan dewasa yang berarti. Dalam hubungan ini sekolah atau perguruan tinggi mempunyai peranan yang penting dalam membantu siswa (mahasiswa) untuk mencapai taraf perkembangan, melalui penuntasan atau pencapaian tugas-tugas perkembangannya secara optimal.
Pelayanan bimbingan dan konseling merupakan komponen pendidikan yang dapat membantu para siswa atau mahasiswa dalam proses perkembangannya. Demikianlah, pemahaman terhadap masalah perkembangan dengan prinsip-prinsipnya akan merupakan kebutuhan yang mendasar bagi pelaksana pelayanan bimbingan dan konseling.
2.                       Masalah Perbedaan Individu
Keunikan Individu mengandung arti bahwa tidak ada 2 orang individu yang sama persis dalam aspek pribadinya,baik aspek jasmani maupun rohaniah. Induvidu yang satu berbeda dengan individu lainya. Timbulnya perbedaan individu ini dapat dikembalikan Kepada factor pembawaan dan lingkungan sebagai komponen utamabagi terbentuknya kmeunikan individu. Perbedaan pembawaan akan memungkinkan perbedaan individu, meskipun dengan lingkungan yang sama, sebaliknya lingkungan yang berbeda akan memungkinkan timbulnya perbedaan individu, meskipun pembawaannya sama.
Di sekolah sering kali tampak masalah perbedaan individu ini, misalnya ada siswa yang sangat cepat dan ada yang sangat lambat belajar. Ada yang menonjol dalam kecerdasan tertentu tapi kurang cerdas pada bidang yang lain.Kenyataan ini akan membawa konsekuensi bagi pelayanan pendidikan, khususnya yang menyangkut bahan pelajaran, metode mengajar,alat alat pelajaran, pelayanan lainnya. Siswa akan menghadapi kesulitan dalam penyesuaian diri antara keunikan dirinya dengan dengan tuntutan dalam lingkungannya. Hal ini di sebabkan karena pelayanan pada pada umumnya program pendidikan memberikan pelayanan atas dasar ukuran pada umumnya atau rata-rata.
Mengingat bahwa yang menjadi tujuan  pendidikan adalah perkembangan yang optimal dari setiap individu, maka masalah perbedaan individu ini perlu mendapat perhatian dalam pelayanan pendidikan. Dengan kata lain sekolah hendaknya memberikan pelayanan kepada para siswa secara individual sesuai dengan keaunikan masing-masing. Usaha melayani siswa secara individual ini dapat diselenggarakan melalui program bimbingan dan konseling.
Beberapa segi perbedaaan individual yang perlu mendapat perhatian diantaranya ialah perbedaan dalam :
o      Kecerdasan
o      Prestasi belajar
o      Sikap dan kebiasaan belajar
o      Motivasi belajar
o      Temperamen
o      Karakter
o      Minat
o      Ciri- ciri fisik
o      Cita- cita
o      Kemampuan dalam komunikasi atau berhubungan interpersonal
o      Kemandirian
o      Kedisiplinan, dan
o      Tangung jawab
Untuk memahami karakteristik diatas, dapat dilakukan melalui teknik tes dan non tes. Teknik tes meliputi psikotes dan tes prestasi belajar. Sementara teknik non-tes meliputi angket, wawancara, observasi, sosiometri, autobiografi dan catatan anekdot. Data tentang keragaman atau perbedaan tersebut akan besar sekali manfaatnya bagi usaha layanan bimbingan dan konseling.
3.         Masalah Kebutuhan Individu

Kebutuhan merupakan dasar timbulnya tingkah laku individu. Individu bertingkah laku karena ada dorongan untuk memenuhi kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhan ini sifatnya mendasar bagi kelangsungan hidup individu itu sendiri. Jika individu berhasil dalam memenuhi kebutuhannya, maka dia akan merasa puas, dan sebaliknya kegagalan dalam memenuhi kebutuhan ini akan banyak menimbulkan masalah baik bagi dirinya maupun bagi lingkungan.
Dengan berpegang kepada prinsip bahwa tingkah laku individu merupakan cara dalam memenuhi kebutuhannya, maka kegiatan belajar pada hakikatnya merupakan perwujudan usaha pemenuhan kebutuhan tersebut. Sekolah hendaknya menyadari hal tersebut, baik dalam mengenal kebutuhan-kebutuhan pada diri siswa, maupun dalam memberikan bantuan yang sebaik-baiknya dalam usaha memenuhi kebutuhan tersebut. Seperti telah dikatakan di atas, kegagalan dalam memenuhi kebutuhan ini akan banyak menimbulkan masalah-masalah bagi dirinya.
Pada umumnya secara psikologis dikenal ada dua jenis kebutuhan dalam diri individu yaitu kebutuhan biologis dan kebutuhan sosial/psikologis. Beberapa diantara kebutuhan-kebutuhan yang harus kita perhatikan ialah kebutuhan:
o      memperoleh kasih sayang;
o      memperoleh harga diri;
o      untuk memperoleh pengharapan yang sama;
o      ingin dikenal;
o      memperoleh prestasi dan posisi;
o      untuk dibutuhkan orang lain;
o      merasa bagian dari kelompok;
o      rasa aman dan perlindungan diri;
o      untuk memperoleh kemerdekaan diri.
Pengenalan terhadap jenis dan tingkat kebutuhan siswa sangat diperlukan bagi usaha membantu mereka. Program bimbingan dan konseling merupakan salah satu usaha kearah itu.
Menurut Maslow, setiap individu memiliki kebutuhan-kebutuhan yang tersusun secara hirarki dari tingkat yang paling mendasar sampai pada tingkat yang paling tinggi. Setiap kali kebutuhan pada tingkatan paling bawah terpenuhi maka akan muncul kebutuhan lain yang lebih tinggi.
a.       Kebutuhan Biologis
Kebutuhan ini  merupakan kebutuhan  yang paling dasar. Kebutuhan ini berfungsi mempertahankan hidupnya secara fisik yaitu kebutuhan akan makan,minuman, seks, istirahat dan oksigen. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan menyebabkan kematian.
b.      Kebutuhan Rasa Aman
Kebutuhan ini sangat penting bagi setiap orang, baik anak remaja maupun dewasa. Pada anak kebutuhan akan rasa aman ini Nampak dengan jelas, sebab mereka suka mereaksi secara langsung sesuatu yang mengancam dirinya. Agar kebutuhan anak akan rasa aman ini terpenuhi, maka perlu diciptakan iklim kehidupan yang memberikan kebebasan (freedom) untuk berekspresi. Pada orang dewasa kebutuhan akan rasa aman ini memotivasinya untuk mencari keraja, menbung uang, atau menjadi peserta asuransi. Orang dewasa yang sehat mentalnya ditandai dengan perasaan aman, bebas dari rasa takut, dan cemas. Sedangkan yang tidak sehat, ditandai dengan perasaan seolah-olah selalu  dalam keadaan terancam bencana besar.
c.       Kebutuhan akan Pengakuan dan Kasih Sayang
Kebutuhan ini dapat diekspresikan dalam berbagai cara seperti persaudaraan, persahabatan, atau pergaulan yang lebih luas. Melalui kebutuhan ini seseorang mencari pengakuan dan curahan kasih saying dari orang lain, baik dari orangtua, saudara, guru, pimpinan, teman, atau orang dewasa lainnya. Kebutuhan untuk diakui sulit dipuaskan pada suasana masyarakat yang mobilisasinya sangat cepat terutama di kota-koa besar yang gaya hidupnya sudah bersifat individualistic. Sebaliknya kebutuhan ini akan mudah terpuaskan dalam suasana masyarakat yang akrab, penuh persahabatan atau persaudaraan. Kebutuhan akan kasih sayang atau mencintai-dicintai dapat dipuaskan melalui hubungan yang akrab dengan lain (persahabatan dan persaudaraan).
Dalam hal ini maslow membedakan antara cinta (love) dengan sex (kebutuhan biologis), meskipun diakuinya bahwa seks merupakan salah satu cara pernyatan kebutuhan cinta. Dia sependapat dengan rumusan cinta dari Rogers yaitu bahwa cinta merupakan “Keadaan dimengerti secara mendalam dan diterima dengan sepenuh hati.” Maslow berpendapat bahwa kegagalan mencapai kepuasan kebutuhan cinta atau kasih sayang merupakan penyebab utama dari gangguan emosional atau maladjustment.
d.      Kebutuhan akan Penghargaan
Jika seseorang telah merasa diakui, maka dia akan mengembangkan kebutuhan akan perasaan berharga. Kebutuhan ini meliputi dua kategori yaitu:
1)      Harga diri (self esteem) yang meliputi: kepercayaan diri, kompetensi, kecukupan, prestasi dan kebebasan
2)      Penghargaan dari orang lain(esteem  from oher people)  yang meliputi: pengakuan, perhatian, prestise, respek dan kedudukan (status)
Memperoleh kepuasan dari kebutuhan ini memungkinkan seseorang memiliki rasa percaya diri akan kemampuan dan penampilannya menjadi kompeten dan produktif dalam semua aspek kehidupan. Sebaliknya apabila seseorang mengalami kegagalan, atau mengalami “lack of self-esteem” maka dia akan mengalami perasaan rendah diri (inferior), tak berdaya, tak bersemangat, dan kurang percaya diri akan kemampuannya untuk mengatasi masalah kehidupan yang dihadapinya.
e.       Kebutuhan Kognitif
Secara alami manusia memiliki hasrat ingin memperoleh pemahaman tentang sesuatu. Hasrat ini mulai berkembang sejak akhir usia bayi dan awal masa kanak-kanak, yang diekspresikan sebagai rasa ingin tahunya (curiosity) dalam bentuk pengajuan pertanyaan-pertayaan tentang berbagai hal, baik terkait dengan dirinya sendiri maupun lingkungannya (sperti benda-benda, hewan, dan tumbuh-tumbuhan). Rasa ingin tahu ini biasanya terhambat perkembangannya oleh lingkungan yang terlalu membatasi atau otoriter, baik dilingkungan keluarga maupun sekolah. Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan ini akan menghambat pencapaian perkembangan kepribadian secara penuh. Menurut Maslow, rasa ingin tahu ini merupakan ciri mental yang sehat. Kebutuhan kognitif ini diekspresikan sebagai kebutuhan untuk memahami, menganalisis, mengevaluasi, menjelaskan, mencari sesuatu atau suasana baru, dan meneliti.
f.       Kebutuhan Estetik
Kebutuhan estetik (order & beauty) merupakan ciri orang yang sehat mentalnya. Melalui kebutuhan inilah, manusia dapat mengembangkan kreativitasnya dalam bidang seni (seperti lukis, rupa, patung, dan grafis), arsiektur, tata busana, tata boga, dan tata rias. Di samping itu orang yang sehat mentalnya ditandai dengan kebutuhan akan keteraturan, keserasian, atau keharmonisan dalam setiap aspek kehidupannya, seperti dalam cara berpakaian (rapi dengan keterpaduan warna yang serasi), penataan rumah (penempatan meubeler, vas bunga, dsb), dan pemeliharan ketertiban berlalu lintas. Orang yang kurang sehat mentalnya, mengalami gangguan emosional atau stress, biasanya kurang memperhatikan kebutuhan ini seperti: tidak rapi dalam berpakaian, kurang memperhatikan kebersihan, dan kurang apresiatif terhadap keteraturan dan kehidupan.
g.      Kebutuhan Aktualisasi Diri
Kebutuhan ini merupkan puncak dari hierarki kebutuhan manusia, yaitu perwujudan potensi dan kapabilitas secara penuh. Walaupun kebutuhan lainnya terpenuhi, namun apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, dalam arti seseorang itu tidak dapat mengembangkan kemampuan atau potensinya secara penuh, maka dia akan mengalami kegelisahan, ketidaknyamanan atau frustasi. Contoh: jika seseorang memiliki kemampuan potensial dalam bidang musik, tetapi dia disuruh bekerja sebagai akuntan maka dia akan mengalami kegagalan dalam mengaktualisasikan dirinya.
Maslow berpendapat bila seseorang telah mampu mengaktualisasikan dirinya secara penuh (self-actualizing person) berarti dia telah memiliki kepribadian yang sehat. Maslow mengemukakan teori motivasi bagi “self-actualizing person” dengan nama “Metamotivation, Meta-needs, B-Motivation, atau Being Values.” Seseorang yang telah mampu mengaktualisasikan dirinya tidak termotivasi dirinya untuk mengejar sesuatu yang khusus, mereduksi ketegangan, atau memuaskan suatu kebutuhan, etapi mencapai tujuan secara menyeluruh (tujuannya untuk memperkaya dan memperluas kehidupannya dan mengurangi keegangan melalui berbagai pengalaman yang menantang). Dia berusaha untuk mengembangkan potensinya secara maksimal, dengan memperhatikan lingkungannya. Dia juga berada dalam keadaan menjadi (becoming) yaitu spontan, alami, dan senang mengekspresikan potensinya secara penuh.
Sementara itu motivasi bagi mereka yang tidak mampu mengaktualisasikan dirinya, dia namai “D-motivation” atau “deficiency.” Tipe motivasi ini mengejar hal-hal yang khusus untuk memenuhi kekurangan atau kebutuhan dalam dirinya seperti mencari makanan untuk memenuhi rasa lapar. Ini berarti bahwa kebutuhan khusus (lapar) untuk tujuan yang khusus (kenyang, menyantap makanan) menghasilkan motivasi untuk memperoleh sesuatu yang dirasakannya kurang (mencari makanan). Motif ini tidak hanya berhubungan dengan kebutuhan fisologis tetapi juga rasa aman, cinta kasih, dan penghargaan.
4.         Masalah Penyesuaian Diri dan Kesehatan Mental
Kegiatan atau tingkah  merupakan laku individu pada hakikatnya merupakan cara pemenuhan kebutuhan. Banyak cara yang dapat ditempuh individu untuk memenuhi kebutuhannya, baik secara yang wajar maupun yang tidak wajar, cara yang disadari maupun cara yang tidak disadari. Yang penting untuk dapat memenuhi kebutuhan ini, indiviidu harus dapat menyesuaikan antar kebutuhan dengan segala kemungkinan yang ada dalam lingkungan, disebut sebagai proses penyesuaian diri. Individu harus dapat menyesuaikan diri dengan berbagai lingkungan baik lingkungan sekolah, rumah maupum masyararakat.
Proses penyesuaian diri ini menimbulkan berbagai masalah terutama bagi diri individu sendiri.terdapat 2 jenis proses penyesuain diri. Yaitu : (1) “Well adjusted” yaitu keadaan dimana individu dapat berhasil memenuhi kebutuhannya sesuai dengan kebutuhannya sesuai dengan lingkungannya dan tanpa menimbulkan gangguan atau kerugian bagi lingkungannya. (2) Maladjusted yaitu keadaan dimana individu gagal dalam proses penyesuaian tersebut.
a.       Penyesuaian Normal
Schneiders (1964: 51) berpendapat adalah penyesuaian adalah proses yang melibatkan respon-respon mental dan perbuatan individu dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan, dan mengatasi ketegangan, frustasi, dan konflik secara sukses, serta menghasilkan hubungan yang harmonis antara kebutuhan dirinya dengan norma atau tuntutan lingkungan dimana dia hidup.
Selanjutnya akan dijelaskan ciri-ciri orang well adjusted yaitu “ yang mampu merespon (kebutuhan, dan masalah) secara matang, efisien, puas, dan sehat (wholesome).” Yang dimaksud efisien adalah hasil yang diperolehnya tidak banyak membuang energi, waktu, dan kekeliruan. Sementara wholesome adalah respon individu itu sesuai dengan hakikat kemanusiaannya, hubungan dengan yang lain, dan hubungannya dengan Tuhan.
Orang yang memiliki kemampuan untuk mereaksi kebutuhan dirinya atau tuntutan lingkungannya secara matang, sehat dan efisien  sehingga dapat memecahkan konflik-konflik mental., frustasi, dan kesulitan-kesulitan pribadi dan sosialnya tanpa mengembangkan tingkah laku simtomatik (seperti rasa cemas, takut, khawatir, obsesi, pobia, atau psikosomatik). Dia adalah orang yang berupaya menciptakan hubungan interpersonal dan suasana yang saling menyenangkan yang berkotribusi kepada perkembangan kepribadian yang sehat.

Orang yang memiliki sikap iri hati, hasud, cemburu, atau, permusuhan merupakan respon yang “unwholesome” (tidak sehat), sedangkan sikap persahabatan , toleransi, dan pemberi pertolongan merupakan respon yang “wholesome”.
Berdasarkan pengertian diatas, maka seseorang itu dapat dikatakan memiliki penyesuaian diri yang normal, yang baik (well adjustment) apabila dia mampu memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalahnya secara wajar, tidak merugikan diri-sendiri dan lingkungannya, serta sesuai dengan norma agama.
Menurut Schneiders (1964: 274-276) penyesuaian yang normal ini memiliki karakter sebagai berikut :
1)   Absence of excessive emotionality (Terhindar dari ekspresi emosi yang berlebih-lebihan, merugikan, atau kurang mampu engontrol diri).
2)   Absence of psychological machanisme (Terhindar dari mekanisme-mekanisme psikologis, seperti rasionalisasi, agresi, kompensasi dan sebagainya).
3)   Absence o the sense of personal frustration (Terhindar dari perasaan frustasi atau perasaan kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhannya).
4)   Rational deliberaton and self-direction (Memiliki pertimbangan dan pengarahan diri yang rasional, yaitu mmpu memecahkan masalah berdasarkan alternative-alternatif yang telah dipertimbangkan secara matang dan mengarahkan diri sesuai dengan keputusan yang diambil).
5)   Ability to learn (Mampu belajar, mampu mengembangkan kualitas dirinya, khususnya yang berkaitan dengan upaya untuk memenuhi kebutuhan atau mengatasi masalah seari-hari).
6)   Utilization of past experience (Mampu memanfaatkan penglaman masa lalu, bercermin ke masa lalu bik yang berkaitan dengan keberhasiln maupun kegagalan untuk mengembangkan kualitas hidup yang lebih baik).
7)   Realistic, objective attitude (Bersikap objektif dan realistik; mampu menerima kenyataan hidup ang dihadap secara wajar; mampu menghindari, merespon situasi atau masalah secara rasional, tidak didasari oleh prasangka buruk atau negative).
b.      Penyesuaian Menyimpang
Penyesuaian diri yang menyimpang atau tidak normal merupakan proses pemenuhan kebutuhan atau upaya pemecahan masalah dengan cara-cara yang tidak wajar atau bertentangan dengan norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Dapat juga dikatakan bahwa penyesuaian yang menyimpang ini adalah sebagai tingkah laku abnormal (abnormal behavior), terutama terkait dengan criteria sosiopsokologis dan agama. Penyesuaian yang menyimpang atau tingkah laku abnormal ini ditandai dengan respon-respon berikut.
1)        Reaksi Bertahan
Organisme atau individu dikepung oleh tuntutan dari dalam diri sendiri dan dari luar yang kadang-kadang mengancam rasa aman egonya. Untuk melindungi rasa aman organisasinya, individu mereaksi dengan mekanisme pertahan diri.
Mekanisme pertahanan dapat diartikan sebagai respon yag tidak disadari yang berkembang dalam kepribadian individu, dan menjadi menetap, sebab dapat menetap, sebab dapat mereduksi ketegangan dan frustasi, dan dapat memuaskan tuntutan-tuntutan penyesuaian diri.
Orang yang berusaha mempertahanan diri sendiri, seolah-olah tidak mengalami kegagalan, menutupi kegagalan, atau menutupi kelemahan dirinya sendiri dengan cara-cara atau alasan tertentu. Bentuk reaksi ini diantaranya:

    Konpensasi : menutupi kelemahan dalam satu hal, dengan cara mencari kepuasan pada bidang lain.
    Sublimasi : menutupi atau mengganti kelemahan atau kegagalan dengan cara atau kegiatan yang mendapatkan pengakuan (sesuai dengan nilai-nilai) masyarakat.
    Proyeksi : melemparkan sebab kegagalan dirinya kepada pihak lain.
Mekanisme pertahanan diri ini dilatarbelakangi oleh dasar-dasar psikologis, seperti: inferiority, inadequacy, failure, dan guilt. Masing-masing dasar-dasar psiklogis itu akan dibahas dalam uraian berikut.
a)   Perasaan Rendah Diri
Inferioritas ini dapat diartikan sebagai perasaan atau sikap yang pada umumnya tidak disadari yang berasal dari kekurangan diri, baik secara nyata maupun maya (imajinasi)
Inferioritas ini menimbulkan gejala-gejala sikap dan perilaku berikut.
o   Peka (merasa tidak senang) terhadap kritikan orang lain.
o   Sangat senang terhadap pujian atau penghargaan.
o   Senang mengkritik atau mencela orang lain.
o   Kurang senang untuk berkompetisi
o   Cenderung senang menyendiri
Berkembangnya sikap inferioritas ini dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu sebagai berikut.
    Kondisi fisik: lemah, kerdil, cacat, tidak berfungsi, atau wajah yang tidak menarik.
    Psikologis : kecerdasan di bawah rata-rata, konsep diri yang negative sebagai dampak dari frustasi yang terus meneruskan dalam memenuhi kebutuhan dasar (seperti selalu gagal untuk memperoleh status, kasih sayang, prestasi, dan pengakuan).
    Kondisi lingkungan yang tidak kondusif : hubungan interpersonal dalam keluarga tidak harmonis, kemiskinan, dan perlakuan yang keras dari orang tua.
b)   Perasaan Tidak Mampu
“Inadequasi” merupakan ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dari lingkungan. Contoh: seorang ibu rumah tangga merasa tidak mampu mengelola urusan keluarga; dan seorang siswa mengeluh, karena tidak mampu memenuhi tuntutan akademik di sekolahnya. Sama halnya dengan inferioritas, factor penyebab perasaan tidak mampu ini adalah: frustasi dan konsep diri yang tidak sehat.
c)    Perasaan Gagal
Perasaan ini sangat dekat hubungannya dengan perasaan “inadequacy”, karena jika seseorang sudah merasa bahwa dirinya tidak mampu, maka dia cenderung mengalami kegagalan untuk melakukan sesuatu atau mengatasi masalah yang dihadapinya.
d)   Perasaan Bersalah
Perasaan bersalah ini muncul setelah seseorang melakukan perbuatan yang melanggar aturan moral, atau sesuatu yang dianggap berdosa.
Mekanisme pertahanan diri ini memiliki beberapa bentuk, yaitu sabagai berkut.
    1.             Kompensasi
Kompensasi diarta sebagai usaha-usaha psikis yang biasanya tidak disadari untuk menutupi keterbatasan atau kelemahan diri dengan cara mengmbangkan respon-respon yang dapat mengurangi ketegangan dan frustasi sehingga dapat meningkatkan penyesuaian individu.
Kompensasi dilakukan dengan tujuan hal-hal berikut.
1)   Mensubstitusi pestasi nyata.
2)   Mengalihkan perhatian dari ketidakmampuan
3)   Memelihara status, harga diri dan interitas.
Untuk mengetahui wujud kompensasi dapat dilihat dari gejalanya yang nampak dalam bentuk-bentuk periaku sebagai berikut.
1)   Overreaction (Reaksi yang berlebihan)
2)   Identifikasi, seperti ada orangtua yang senang membicarakan keberhasilan anaknya, dalam rangka menutup kelemahan dirinya mencapai hal itu.
3)   Bermain dan berfantasi
Penjelasan diatas menunjukan bahwa kompensasi termasuk maladjustment. Walaupun begitu dalam kehidupan nyata sehari-hari, tidak sedikit bahwa proses kompensasi itu dapat membantu individu mencapai kepuasan. Contoh : Ada seorang anak yang mengkompensasi frustasinya (gagal dalam memenuhi kerinduannya untuk mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya) dengan cara mekukn kegiatan bermain.
Contoh ini mengidentifikasikan bahwa kompensasi itu dapat mengatasi masalah tanpa menimbulkan gejala-gejala perilaku yang maladjustment. Agar reaksi kompensasi itu dapat mendukung penyesuaian yang sehat, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut.
1)   Dalam mereduksi ketegangan atau frustasi jangan menimbulkan kerusakan pada diri individu itu sendiri.
2)   Kembangkanlah kompensasi itu dengan penuh kesabaran dan pertimbangan.
3)   Landasilah kompensasi itu dengan kesadaran yang jelas tentang keterbatasan atau kelemahan diri sendiri.
4)   Jangan menghindar untuk mencapai prestasi, tetapi tingkatkanlah usaha untuk mencapainya.
5)   Jangan mengfungsikan kompensasi sebagai substitusi dari upaya yang baik (sehat).
6)   Tingkatkan kesejahteraan psikologis.
    2.             Sublimasi
Sublimasi adalah pengerahan energy-energi drive atau motif secara tidak sadar ke dalam kegiatan-kegiatan yang dapat diterima secara social maupun moral.
Sublimasi ini bertujuan untuk mereduksi ketegangan, frustasi, konflik, dan memelihara integritas (keutuhan) ego. Dalam hal ini sublimasi mirip dengan kompensasi, namun begitu terdapat perbedaan diantara keduanya, yaitu kompensasi berkembang dari perasaan “inadequacy”, sedangkan sublimasi berkembang dari “guilty feeling” yang terkait dengan motif-motif agresi, curiocity, kekejaman, dan keibuan.
Beberapa contoh mekanisme sublimasi adalah sebagai berikut:
    Dorongan keibuan (maternal drive), atau dorongan cinta kasih disublimasikan kepada kegiatan-kegiatan mengajar, kerja social, dan kegiatan lain yang memberi peluang untuk mengekspresikan kecintaan kepada anak.
    Dorongan rasa ingin tahu (curiocity) yang seering diekspresikan ke dalam cara-cara yang tidak diinginkan, seperti: voyeurism, peeping (mengintip), percakapan seksual, dan gossip (gibah) yang mengakibatkan timbulnya perasaan bersalah atau berdosa dapat disublimasikan ke dalam kegiatan seni dan penelitian ilmiah.
    3.             Rasionalisasi
Rasionalisasi dapat diartikan sebagai upaya mereka-reka alasan untuk menutupi suasana emosional yang tidak nyaman, tidak dapat diterima, atau merusak keutuhan (ego) atau status.
Dengan melakukan perbuatan atau tingkah laku yang nampaknya rasional, individu melindungi dirinya dari kritikan diri sendiri dan oranglain dalam upaya memelihara keutuhan ego. Perasaan tidak mampu, gagal, dan berdosa merupakan sumber penyebab psikologis rasionalisasi. Walaupun begitu, rasionalisasi digunakan juga dalam berbagai situasi pada saat tuntutan penyesuaian diri memerlukan pemecahannya.
Untuk mengetahui reaksi rasionalisasi ini pada uraian berikut akan diberikan contoh-contohnya:
1)   Seorang siswa tidak dapat melaksanakan tugas untuk bercerita, dengan alasan bukunya lupa tidak dibawa.
2)   Seorang pegawai terlambat datang bekerja, dengan alasan kendaraanya terjebak macet.
3)   Seorang siswa tidak lulus ujian, dengan alasan sakit.
Setiap kasus diatas mempunyai kesamaan sumber penyebab, yaitu ketidakmampuan menghadapi (1) kegagalan secara wajar, (2) menghadapi kelemahan, dan (3) menerima tanggung jawab.
Para ahli psikologi sepakat bahwa rasionalisasi dapapt merusak integritas pribadi dan penyesuaian diri yang sehat. Rasionalisasi tidak ada bedanya dengan berbohong, karena kedua-duanya menunujukkan gejala inkonsistensi, kontradiksi pribadi, dan inkoherensi. Hal ini terjadi karena kedua-duanya merupakan upaya untuk memelihara integritas pribadi yang fiktif dan menghindari situasi atau kondisi yang nyata.
    4.             Sour Grape (Anggur Masam)
Istilah ini berasal dari suatu cerita, yaitu: ada seekor rubah yang sangat menyenangi buah anggur, tetapi dia gagal meraih buah anggur tersebut. [ada saat itu dia berbicara pada dirinya, buah angggur itu sangat masam rasanya.
Mekanisme pertahanan diri ini sama dengan rasionalisasi, yaitu sikap menipu diri sendiri (self deception). Sikap “sour grape” ini merupakan indikasi ketidakmampuan, dan kelemahan kepribadian, karena mendistorsi kenyataan. Oleh karena itu sikap ini merupakan penyesuaian diri yang tidak normal.
Contoh-contoh sikap “sour grape”: siswa yang gagal di sekolah, seorang pekerja yang kehilangan pekerjaannya, seorang suami mencerai istrinya, atau seorang penulis yang gagal mempublikasikan karyanya, masing-masing mereka mungkin akan menggunakan mekanisme “sour grape” ini dalam upaya menenangkan perasaan frustasinya.
    5.             Egosentrisme dan Superioritas
Egosentrisme dan Superioritas merupakan sikap-sikap yang dipandang efektif untuk melindungi dampak-dampak buruk dari perasaan inferioritas dan perasaan gagal dalam mencapai sesuatu yang disenangi.
Egosentrisme dapat diartikan sebagai perbuatan pura-pura yang tidak disadari untuk mencapai kualitas superior, dan usaha untuk menyembunyikan inferioritasnya.
Faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya sikap egosentris adalah
o   Perasaan tidak aman (insecurity) yang pada umumnya berasal dari perasaan rendah diri (inferiority)
o   Perlakuan orangtua yang sangat memanjakan, atau yang selalu memberikan pujian atau membangga-banggakannya.
    6.             Introjeksi dan Identifikasi
Kedua mekanisme pertahanan diri ini sama-sama berusaha untuk memelihara atau melindungi ego dari kelemahannya. Introjeksi merupakan mekanisme dengan cara individu berusaha mengasimilasi kualitas-kualitas yang diingini atau disenangi dari orang lain atau kelompok.
Efisiensi asimilasi ini tergantung kepada tingkat kemampuan seseorang dalam mengidentifikasi dirinya dengan orang lain. Sementara identifikasi diartikan sebagai “suatu proses dimana seseorang membangun persamaan psikologis dengan orang lain, baik dalam aspek kapasitas maupun sifat-sifat”. Dapat juga diartikan sebagai “sikap menerima identitas orang lain atau kelompok secara tidak disadari untuk meningkatkan prestige atau harga diri” .
Contoh: anak laki-laki mengidentifikasi kekuatan ayahnya dan kemudian mengintrojeksi kualitas-kualitas pribadinya, seperti keberanian dan kematangan.
    7.             Proyeksi dan Sikap Mencela (Blaming)
Proyeksi merupakan “mekanisme pertahanan diri dimana individu melepas dirinya sendiri dari kualitas atau keadaan yang tidak diinginkan dengan cara mengkambinghitamkan orang lain atau sesuatu sebagai penyebabnya ”.
Contoh:
o   Seorang pekerja yang gagal dalam mengerjakan tugasnya memproyeksikan kegagalannya kepada mesin, bukan kepada dirinya yang tidak mampu menyelesaikan tugasnya.
o   Seorang remaja yang nakal memproyeksikan penyebab kenakalannnya kepada orangtuanya, bukan kepada dirinya sendiri.
Proyeksi ini sering dihubungkan dengan reaksi “blamming” dan merefleksikan perasaan tidak mampu dan tidak bersalah yang mendalam,. Ketika seseorang mencela atau menyalahkan orang lain, karena ketidakmampuan dan kegagalannya merupakan indikasi yang baik bahwa dia merasa bersalah, dan secara tidak langsung dia telah mencela kelemahan dirinya sendiri.
    8.             Represi
Represi merupakan proses penekanan pengalaman, dorongan, keinginan, atau pikiran yang bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dan social kea lam tak sadar, karena hal itu mengancam keamanan egonya.
Represi melindungi organisme dari ketegangan, frustasi, perusakan ego, dan juga dapat mengembangkan motif-motif yang tidak disadari yang mengraha kepada pembentukan gejala-gejala gangguan tingkah laku.
Semua bentuk mekanisme pertahanan diri tersebut di atas, sama-sama bertujuan untuk mereduksi ketegangan, konflik, frustasi, dalam upaya melindungi keamanan egonya. Mekanisme pertahanan diri ini bergerak di antara normal dan abnormal. Apabila mekanisme tersebut mendistorsi kenyataan dan melemahkan hubungan social, serta mengarah kepada kerusakan ego, maka mekanisme itu termasuk maladjusment (abnormal).
2)        Reaksi Menyerang
Agresi dapat diartikan sebagai sebuah bentuk respon untuk mereduksi ketegangan dan frustasi melalui media tingkah laku yang merusak, berkuasa, atau mendominasi.
Berbeda dengan mekanisme penyesuaian diri yang lainnya, reaksi agresi tidak berkontribusi bagi kesejahteraan rohaniah individu atau penyelesaian masalah yang dihadapinya.
Agresi ini terefleksi dalam tingkah laku verbal dan nonverbal. Contoh yang verbal: berkata kasar, bertengkar, panggilan nama yang jelek, jawaban yang kasar, sarkasme (perkataan yang menyakitkan hati), dan kritikan yang tajam. Sementara contoh yang nonverbal, di antaranya: menolak atau melanggar aturan (tidak disiplin), memberontak, berkelahi (tawuran), mendominasi orang lain, dan membunuh.
Agresi ini dipengaruhi beberapa factor, yaitu sebagai berikut:
    Fisik: sakit-sakitan atau mempunyai penyakit yang sulit disembuhkan.
    Psikis: ketidakmampuan atau ketidakpuasan dalam memenuhi Kebutuhan dasar, seperti rasa aman, kasih sayang, kebebasan, dan pengakuan social.
    Social: perhatian orangtua yang sangat membatasi atau sangat memanjakan, hubungan antar anggota keluarga yang tidak harmonis, hubungan guru siswa yang negative, kondisi sekolah yang tidak nyaman, kegagalan dalam pernikahan, kondisi pekerjaan yang tidak nyaman atau di-PHK (pemutusan hubungan kerja).
Lebih lanjut dikemukakan gejala-gejala perilaku sikap agresif, yaitu sebagai berikut (M. Surya, 1976).
o   Selalu membenarkan diri sendiri.
o   Mau berkuasa dalam setiap situasi.
o   Mau memiliki segalanya.
o   Bersikap senang mengganggu orang lain.
o   Menggertak, baik dengan ucapan atau perbuatan.
o   Menunujukkan sikap permusuhan secara terbuka.
o   Menunjukkan sikap menyerang dan merusak.
o   Keras kepala.
o   Bersikap balas dendam.
o   Memperkosa hak orang lain.
o   Bertindak serampangan (impulsif)
o   Marah secara sadis.
Bentuk mekanisme yang sangat dekat hubungannya dengan agresi adalah “delinquency”, karena kedua-duanya merupakan sikap perlawanan terhadap kondisi yang memfrustasikan pemenuhan Kebutuhan atau keinginannya. Delinquency dapat diartikan sebagai tingkah laku individu atau kelompok yang melanggar norma moral yang dijunjung tinggi masyarakat, yang menyebabkan terjadinya konflik antara individu dengan kelompok atau masyarakat.
Tingkah laku nakal (delinquency) dapat dipandang sebagai upaya untuk memenuhi Kebutuhan, dan mereduksi ketegangan, frustasi, dan konflik yang disebabkan oleh tuntutan tersebut.
Healy dan Bronner (Schneiders, 1964:354) mengemukakan tentang karakteristik “delinquency” itu sebagai berikut:
    Penolakan terhadap situasi yang tidak menyenangkan dengan cara “escape” atau “flight” (melarikan diri) dari situasi tersebut.
    Memperoleh kepuasan pengganti melalui “delinquency”.
    Upaya memperoleh kepuasan ego, melalui pernyataan sikap balas dendam secara langsung, baik disadari maupun tidak, sebagai ekspresi dari keinginannya yang tersembunyi untuk menghukum orangtua atau orang lain dengan melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kesulitan hidup bagi dirinya.
    Upaya memperoleh kepuasan pribadi secara maksimum melalui perilaku agresif, sikap anti social , dan permusuhan terhadap orang-orang yang memiliki otoritas.
 Berkembangnya perilaku “delinquency” disebabkan oleh beberapa factor, yaitu sebagai berikut:
    Factor Psikologis: inferioritas, perasaan tidak aman, tersisihkan dari kelompok (tidak mendapat pengakuan kelompok), kurang mendapat kasih sayang, dan gagal memperoleh prestasi.
    Factor Lingkungan: broken home, perlakuan orangtua yang sering menghukum, sikap penolakan orangtua, hubungan antar anggota keluarga yang tidak harmonis, iklim kehidupan (social, moral dan agama) masyarakat yang tidak kondusif, dan kondisi ekonomi yang morat-marit.
3)        Reaksi Melarikan Diri dari Kenyataan
Reaksi “escape'” dan “withdrawal” merupakan perlawanan pertahanan diri individu terhadap tuntutan, desakan, atau ancaman dari lingkungan dimana dia hidup. “Escape” merefleksikan perasaan jenuh, atau putus asa; sementara “withdrawal” mengindikasikan kecemasan, atau ketakutan. Bentuk-bentuk reaksi “escape” dan “withdrawal” ini diantaranya: (a) berfantasi – melamun, (b) banyak tidur, atau tidur yang patologis: narcolepcy, yaitu kebiasaan tidur yang tak terkontrol, (c) meminum-minuman keras, (d) bunuh diri, (e) menjadi pecandu ganja, narkotika, shabu-shabu atau ecstacy, dan (f) regresi.
Contoh: seorang siswa mengalami frustrasi, karena prestasi belajarnya di sekolah rendah. Akhirnya dia menjadi sering melamun (day dreaming). Dia melarikan diri dari dunia nyata dan mencari kepuasan di dunia tak nyata (melamun).
Reaksi “escape” dan “withdrawal” berkembang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut:
a.    Psikologis: frustrasi, konflik, ketakutan, perasaan tertindas, dan kemiskinan emosional.
b.    Lingkungan keluarga: orangtua terlalu memanjakan anak, orangtua bersikap menolak terhadap anak, dan orangtua menerapkan disiplin yang keras terhadap anak.
4)        Penyesuaian yang Patologis
Penyesuaian yang patologis ini berarti bahwa individu yang mengalaminya perlu mendapat perawatan khusus, dan bersifat klinis, bahkan perlu perawatan di rumah sakit (hospitalized). Yang terrnasuk penyesuaian yang patologis ini adalah “neurosis” dan “psikosis.”
Untuk membantu para siswa atau mahasiswa agar tercegah dari sikap dan perilaku salah suai di atas, maka pihak sekolah atau perguruan tinggi hendaknya memberikan bantuan agar setiap siswa (mahasiswa) mampu menyesuaikan diri dengan baik dan terhindar dari timbulnya gejala-gejala salah suai. Sekolah hendaknya menempatkan diri sebagai suatu lingkungan yang memberikan kemudahan-kemudahan untuk tercapainya penyesuaian yang baik.
Di atas dikatakan bahwa jika individu gagal dalam penyesuaian diri, maka ia akan sampai pada suatu situasi salah suai. Gejala-gejala salah suai ini akan dimanifestasikan dalam bentuk tingkah laku yang kurang wajar atau kelainan tingkah laku.
Gejala-gejala tingkah laku salah suai tersebut seringkali menimbulkan berbagai masalah. Hal tersebut tentu saja tidak dapat dibiarkan terus, karena akan mengganggu baik bagi individu itu sendiri maupun bagi lingkungan.
Mereka yang menunjukkan gejala-gejala kelainan tingkah laku mempunyai luvondenmgan gagal dalam proses pendidikannya. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu usaha nyata untuk menanggulangi grjala-gejala terscbut, dalam hubungan ini bimbingan dan konseling mempunyai peranan yang cukup penting.
    5.             Masalah belajar
Dalam seluruh proses pendidikan, belajar merupakan kegiatan inti. Pendidikan itu sendiri dapat diartikan sebagai bantuan perkembang-an melalui kegiatan belajar. Secara psikologis belajar dapat diartikan sebagai proses memperoleh perubahan tingkah laku (baik dalam kognitif, af’ektif, maupun psikomotor) untuk memperoleh respons yang diperlukan dalam interaksi dengan lingkungan secara efisien.
Dalam kegitatan belajar dapat timbul berbagai masalah baik bagi pelajar itu sendiri maupun bagi pengajar. Misalnya bagaimana menciptakan knndisi yang baik agar berhasil, memilih metode dan alat-alat sesuai dengan jonis dan situasi belajar, membuat rencana belajar bagi siswa, menyesuaikan proses belajar dengan keunikan siswa, penilaian hasil belajar, diagnosis kesulitan belajar, dan sebagainya. Bagi siswa sendiri, masalah-masalah belajar yang mungkin timbul misalnya pengaturan waktu belajar, memilih cara belajar, menggunakan buku-buku pelajaran, belajar berkelompok, mempersiapkan ujian, memilih mata pelajaran yang cocok, dan sebagainya.
Keberhasilan belajar siswa/mahasiswa itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal (yang bersumber dari dalam diri sendiri) maupun eksternal (yang bersumber dari luar atau lingkungan).
a. Faktor Internal
Ada beberapa faktor yang harus dipenuhinya agar belajarnya berhasil. Syarat-syarat itu meliputi fisik dan psikis. Yang termasuk faktor fisik, di antaranya: nutrisi (gizi makanan), kesehatan dan keberfungsian fisik (terutama pancaindera). Kekurangan nutrisi dapat mengakibatkan kelesuan, lekas mengantuk, lekas lelah, dan kurang bisa konsentrasi. Penyakit juga dapat mempengaruhi keberhasilan belajar, apabila penyakit itu bersifat kronis atau terus menerus dan mengganggu kenyamanan. Pancaindera pun sangat berpengaruh terhadap belajar, ka-rena merupakan pintu gerbang masuknya informasi dari luar. Oleh karena itu, pemeliharaan yang intensif sangat penting bagi individu. Sementara yang masuk faktor psikis di antaranya adalah kecerdasan, motivasi, minat, sikap dan kebiasaan belajar, dan suasana emosi. Apabila kedua faktor tersebut tidak terpenuhi atau mengalami gangguan, maka kemungkinan besar individu akan mengalami kesulitan belajar.
Menurut W.H. Burton (Syamsu Yusuf LN dkk., 1992) faktor internal yang mengakibatkan kesulitan belajar adalah sebagai berikut.
Ketidakseimbangan mental atau gangguan fungsi mental: (a) kurangnya kemampuan mental yang bersifat potensial (kecer­dasan); (b) kurangnya kemampuan mental, seperti kurang perhatian, adanya kelainan, lemah dalam berusaha, menun-jukkan kegiatan yang berlawanan, kurangnya enerji untuk bekerja atau belajar karena kekurangan makanan yang bergizi, kurangnya penguasaan terhadap kebiasaan belajar dan hal-hal fundamental; dan (c) kesiapan diri yang kurang matang.

Gangguan fisik: (a) kurang berfungsinya organ-organ perasaan, alat-alat bicara; dan (b) gangguan kesehatan (sakit-sakitan).
Gangguan emosi: (a) merasa tidak aman, (b) kurang bisa menyesuaikan diri, baik dengan orang, situasi, maupun kebutuhan; (c) adanya perasaan yang kompleks (tidak karuan), perasaan takut yang berlebihan (phobi), perasaan ingin melarikan diri atau menghindar dari masalah yang dialami; dan (d) ketidakmatangan emosi.
b. Faktor Eksternal
Faktor ini meliputi aspek-aspek sosial dan nonsosial. Yang dimak-sud dengan faktor sosial adalah faktor manusia, baik yang hadir secara langsung (bertatap muka atau berkomunikasi langsung), maupun kehadirannya secara tidak langsung, seperti: berupa foto, suara (nyanyian, pembicaraan) dalam radio, TV, dan tape recorder. Sedangkan yang termasuk faktor nonsosial adalah: keadaan suhu udara (panas, dingin), waktu (pagi, siang, malam), suasana lingkungan (sepi, bising atau ramai), keadaan tempat (kualitas gedung, luas ruangan, kebersihan, ventilasi, dan kelengkapan mebeler), kelengkapan alat-alat atau fasilitas belajar (ATK, alat peraga, buku-buku sumber, dan media komunikasi belajar lainnya).
Jadi jelas bahwa dalam kegiatan belajar ini banyak masalah-masalah yang timbul terutama yang dirasakan oleh siswa sendiri. Sekolah mempunyai tanggung jawab yang besar dalam membantu siswa agar mereka berhasil dalam belajar. Untuk itu hendaknya sekolah memberikan bantuan kepada siswa dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam kegiatan belajar. Di sinilah penting dan perlunya program bimbingan dan konseling untuk membantu agar mereka berhasil dalam belajar.
Layanan bantuan yang seyogianya diberikan kepada para siswa adalah bimbingan belajar. Bimbingan belajar ini meliputi beberapa kegiatan layanan, baik yang bersifat preventif maupun kuratif. Layanan yang bersifat preventif di antaranya dengan pemberian layanan informasi sebagai berikut: (a) Sikap dan kebiasaan belajar yang positif; (b) Cara membaca buku yang efektif; (c) Cara membuat catatan pelajaran; (d) Cara mengikuti kegiatan belajar di dalam dan di luar kelas; (e) Cara belajar kelompok; dan (f) Teknik menyusun laporan.
Adapun bimbingan belajar yang bersifat kuratif adalah layanan bantuan bag! para siswa yang memiliki masalah atau kesulitan belajar. Untuk meinbantu mereka, maka dilakukan langkah-langkah sebagai brrikut.
Mengidentifikasi kasus, dengan cara (1) membandingkan nilai setiap siswa dengan nilai batas lulus kelompok, dan (2) menerima laporan dari sol.iap guru atau wali kelas tentang aktivitas belajar setiap siswa yang diduga bermasalah dalam belajar.
Mengidentifikasi. letaknya masalah, dengan cara (1) melihat kawasan tujtian belajar mana yang belum tercapai, dan (2) melihat ruang lingkup atau bahan ajar mana yang belum dikuasai.
Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kesulitan belajar (diagnosis). Faktor-faktor penyebab ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua laktor, yaitu: internal (yang berasal atau bersumber dari diri siswa itu sendiri) dan eksternal (yang bersumber dari luar atau lingkungan).
Prognosis, mengambil kesimpulan dan keputusan serta meramalkan kemungkinan penyembuhannya.
Treatment, pemberian layanan bantuan sesuai dengan prognosis yang telah dilakukan.


B.                 Pendekatan-pendekatan Umum dalam Bimbingan & Konseling
Dilihat dari pendekatan bimbingan, bimbingan itu dibagi menjadi 4 pendekatan yaitu : (1) pendekatan krisis; (2) pendekatan remedial; (3) pendekatan preventif; (4) pendekatan perkembangan.
    a.         Pendekatan Krisis
Pendekatan krisis adalah upaya bimbingan yang diarahkan kepada individu yang mengalami krisis atau masalah. Bimbingan bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah yang dialami individu. Dalam pendekatan krisis ini, konselor menunggu klien yang datang, selanjutnya mereka memberikan bantuan sesuai dengan masalah yang dirasakan klien.
Pendekatan ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikoanalisis. Psikoanalisis terpusat pada pengaruh masa lampau sebagai suatu hal yang menentukan bagi fungsinya kepribadian pada masa kini. Pengalaman-pengalaman pada masa lima atau enam tahun pertama dari kehidupan individu dipandang sebagai akar dari krisis individu yang bersangkutan pada masa kini.
    b.             Pendekatan Remedial
Pendekatan remedial adalah upaya bimbingan yang diarahkan kepada individu yang mengalami kesulitan. Tujuan bimbingan adalah untuk memperbaiki kesulitan-kesulitan yang dialami individu. Dalam pendekatan ini konselor memfokuskan pada kelemahan-kelemahan individu yang selanjutnya berupaya untuk memperbaikinya.
Pendekatan remedial ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi behavioristik. Pendekatan behavioristik ini menekankan pada perilaku klien di sini dan saat ini. Perilaku saat ini dari individu dipengaruhi oleh suasana lingkungan pada saat ini pula. Oleh sebab itu untuk memperbaiki perilaku individu perlu ditata lingkungan yang mendukung untuk perbaikan perilaku tersebut.
    c.              Pendekatan Preventif
Pendekatan preventif adalah upaya bimbingan yang diarahkan untuk mengantisipasi masalah-masalah umum individu dan mencoba mencegah jangan sampai terjadi masalah tersebut pada individu. Konselor berupaya untuk mengajarkan pengetahuan dan keterampilan untuk mencegah masalah tersebut.
Pendekatan kuratif ini tidak didasari oleh teori tertentu yang khusus. Pendekatannya dapat dikatakan mempunyai banyak teknik terapi, tetapi hanya sedikit konsep.
    d.             Pendekatan Perkembangan
Bimbingan dan konseling yang berkembang pada saat ini adalah bimbingan dan konseling perkembangan. Visi bimbingan dan konseling adalah edukatif, pengembangan, dan outreach. Edukatif karen titik berat kepedulian bimbingan dan konseling terletak pada pencegahan dan pengembangan, bukan pada korektif atau terapeutik, walaupun hal itu tetap ada dalam kepedulian bimbingan dan konseling perkembangan. Pengembangan, karena titik sentral tujuan bimbingan dan konseling adalh perkembangan optimal dan strategi upaya pokoknya adalah memberikan kemudahan perkembangan  bagi individu melalui perekayasaan lingkungan perkembangan. Outreach, karena target populasi layanan bimbingan dan konseling tidak terbatas kepada individu bermasalah dan dilakukan secara individual tetapi meliputiragam dimensi (masalah, target intervensi, setting, metode, lama waktu layanan) dalam rentang yang cukup lebar. Teknik yang digunakan dalam bimbingan dan konseling perkembangan adalah pembelajaran, pertukaran informasi, bermain peran, tutorial dan konseling. (Muro and Kottman, 199:5)
2.3         Strategi Pelaksanaan Layanan Bimbingan dan Konseling
Strategi pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling terkait dengan empat komponen program yaitu:  (1) layanan dasar;  (2)  layanan responsif; (3) perencanaan individual; dan  (4) dukungan sistem.
    1.    Strategi untuk Layanan Dasar Bimbingan
    a.    Bimbingan Klasikal
Layanan dasar diperuntukkan bagi semua siswa. Hal ini berarti bahwa dalam peluncuran program yang telah dirancang menuntut konselor untuk melakukan kontak langsung dengan para siswa di kelas. Secara terjadwal, konselor memberikan layanan bimbingan kepada para siswa. Kegiatan layanan dilaksanakan melalui pemberian layanan orientasi dan informasi tentang berbagai hal yang dipandang bermanfaat bagi siswa. Layanan orientasi pada umumnya dilaksanakan pada awal pelajaran, yang diperuntukan bagi para siswa baru, sehingga memiliki pengetahuan yang utuh tentang sekolah yang dimasukinya. Kepada siswa diperkenalkan tentang berbagai hal yang terkait dengan sekolah, seperti : kurikulum, personel (pimpinan, para guru, dan staf administrasi), jadwal pelajaran, perpustakaan, laboratorium, tata-tertib sekolah, jurusan (untuk SLTA), kegiatan ekstrakurikuler, dan fasilitas sekolah lainnya. Sementara layanan informasi merupakan proses bantuan yang diberikan kepada para siswa tentang berbagai aspek kehidupan yang dipandang penting bagi mereka, baik melalui komunikasi langsung, maupun tidak langsung (melalui media cetak maupun elektronik, seperti : buku, brosur, leaflet, majalah, dan internet). Layanan informasi untuk bimbingan klasikal dapat mempergunakan jam pengembangan diri. Agar semua siswa terlayani kegiatan bimbingan klasikal perlu terjadwalkan secara pasti untuk semua kelas.
    b.   Bimbingan Kelompok
Konselor memberikan layanan bimbingan kepada siswa melalui kelompok-kelompok kecil (5 s.d. 10 orang). Bimbingan ini ditujukan untuk merespon kebutuhan dan minat para siswa. Topik yang didiskusikan dalam bimbingan kelompok ini, adalah masalah yang bersifat umum (common problem) dan tidak rahasia, seperti : cara-cara belajar yang efektif, kiat-kiat menghadapi ujian, dan mengelola stress. Layanan bimbingan kelompok ditujukan untuk mengembangkan keterampilan atau perilaku baru yang lebih efektif dan produktif.
    c.    Berkolaborasi dengan Guru Mata Pelajaran atau Wali Kelas
Program bimbingan akan berjalan secara efektif apabila didukung oleh semua pihak, yang dalam hal ini khususnya para guru mata pelajaran atau wali kelas. Konselor berkolaborasi dengan guru dan wali kelas dalam rangka memperoleh informasi tentang siswa (seperti prestasi belajar, kehadiran, dan pribadinya), membantu memecahkan masalah siswa, dan mengidentifikasi aspek-aspek bimbingan yang dapat dilakukan oleh guru mata pelajaran. Aspek-aspek itu di antaranya :
1)   menciptakan sekolah dengan iklim sosio-emosional kelas yang kondusif bagi belajar siswa;
2)   memahami karakteristik siswa yang unik dan beragam;
3)   menandai siswa yang diduga bermasalah;
4)   membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar melalui program remedial teaching;
5)   mereferal (mengalihtangankan) siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling kepada guru pembimbing;
6)   memberikan informasi tentang kaitan mata pelajaran dengan bidang kerja yang diminati siswa;
7)   memahami perkembangan dunia industri atau perusahaan, sehingga dapat memberikan informasi yang luas kepada siswa tentang dunia kerja (tuntutan keahlian kerja, suasana kerja, persyaratan kerja, dan prospek kerja);
8)   menampilkan pribadi yang matang, baik dalam aspek emosional, sosial, maupun moral-spiritual (hal ini penting, karena guru merupakan “figur central” bagi siswa);
9)   memberikan informasi tentang cara-cara mempelajari mata pelajaran yang diberikannya secara efektif.
    d.   Berkolaborasi (Kerjasama) dengan Orang Tua
Dalam upaya meningkatkan kualitas peluncuran program bimbingan, konselor perlu melakukan kerjasama dengan para orang tua siswa. Kerjasama ini penting agar proses bimbingan terhadap siswa tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga oleh orang tua di rumah. Melalui kerjasama ini memungkinkan terjadinya saling memberikan informasi, pengertian, dan tukar pikiran antar konselor dan orang tua dalam upaya mengembangkan potensi siswa atau memecahkan masalah yang mungkin dihadapi siswa. Untuk melakukan kerjasama dengan orang tua ini, dapat dilakukan beberapa upaya, seperti : (1) kepala sekolah atau komite sekolah mengundang para orang tua untuk datang ke sekolah (minimal satu semester satu kali), yang pelaksanaannnya dapat bersamaan dengan pembagian rapor, (2) sekolah memberikan informasi kepada orang tua (melalui surat) tentang kemajuan belajar atau masalah siswa, dan (3) orang tua diminta untuk melaporkan keadaan anaknya di rumah ke sekolah, terutama menyangkut kegiatan belajar dan perilaku sehari-harinya.
    2.    Strategi untuk Layanan Responsif
    a.     Konsultasi
Konselor memberikan layanan konsultasi kepada guru, orang tua, atau pihak pimpinan sekolah dalam rangka membangun kesamaan persepsi dalam memberikan bimbingan kepada para siswa.
    b.   Konseling Individual atau Kelompok
Pemberian layanan konseling ini ditujukan untuk membantu para siswa yang mengalami kesulitan, mengalami hambatan dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya. Melalui konseling, siswa (klien) dibantu untuk mengidentifikasi masalah, penyebab masalah, penemuan alternatif pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan secara lebih tepat. Konseling ini dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. Konseling kelompok dilaksanakan untuk membantu siswa memecahkan masalahnya melalui kelompok. Dalam konseling kelompok ini, masing-masing siswa mengemukakan masalah yang dialaminya, kemudian satu sama lain saling memberikan masukan atau pendapat untuk memecahkan masalah tersebut.
    c.    Referal (Rujukan atau Alih Tangan)
Apabila konselor merasa kurang memiliki kemampuan untuk menangani masalah klien, maka sebaiknya dia mereferal atau mengalihtangankan klien kepada pihak lain yang lebih berwenang, seperti psikolog, psikiater, dokter, dan kepolisian. Klien yang sebaiknya direferal adalah mereka yang memiliki masalah, seperti depresi, tindak kejahatan (kriminalitas), kecanduan narkoba, dan penyakit kronis.
    d.   Bimbingan Teman Sebaya (Peer Guidance/Peer Facilitation)
Bimbingan teman sebaya ini adalah bimbingan yang dilakukan oleh siswa terhadap siswa yang lainnya. Siswa yang menjadi pembimbing sebelumnya diberikan latihan atau pembinaan oleh konselor. Siswa yang menjadi pembimbing berfungsi sebagai mentor atau tutor yang membantu siswa lain dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, baik akademik maupun non-akademik. Di samping itu dia juga berfungsi sebagai mediator yang membantu konselor dengan cara memberikan informasi tentang kondisi, perkembangan, atau masalah siswa yang perlu mendapat layanan bantuan bimbingan atau konseling.


C. Strategi untuk Layanan Perencanaan Individual
    a.    Penilaian Individual atau Kelompok (Individual or small-group Appraisal)
Yang dimaksud dengan penilaian ini adalah konselor bersama siswa menganalisis dan menilai kemampuan, minat, keterampilan, dan prestasi belajar siswa. Dapat juga dikatakan bahwa konselor membantu siswa menganalisis kekuatan dan kelemahan dirinya, yaitu yang menyangkut pencapaian tugas-tugas perkembangannya, atau aspek-aspek pribadi, sosial, belajar, dan karier. Melalui kegiatan penilaian diri ini, siswa akan memiliki pemahaman, penerimaan, dan pengarahan dirinya secara positif dan konstruktif.
    b.   Individual or Small-Group Advicement
Konselor memberikan nasihat kepada siswa untuk menggunakan atau memanfaatkan hasil penilaian tentang dirinya, atau informasi tentang pribadi, sosial, pendidikan dan karir yang diperolehnya untuk (1) merumuskan tujuan, dan merencanakan kegiatan (alternatif kegiatan) yang menunjang pengembangan dirinya, atau kegiatan yang berfungsi untuk memperbaiki kelemahan dirinya; (2) melakukan kegiatan yang sesuai dengan tujuan atau perencanaan yang telah ditetapkan, dan (3) mengevaluasi kegiatan yang telah dilakukannya.
    4.    Strategi untuk Dukungan Sistem
    a.    Pengembangan Professional
Konselor secara terus menerus berusaha untuk “meng-update” pengetahuan dan keterampilannya melalui (1) in-service training, (2) aktif dalam organisasi profesi, (3) aktif dalam kegiatan-kegiatan ilmiah, seperti seminar dan workshop (lokakarya), atau (4) melanjutkan studi ke program yang lebih tinggi (Pascasarjana).
    b.   Pemberian Konsultasi dan Berkolaborasi
Konselor perlu melakukan konsultasi dan kolaborasi dengan guru, orang tua, staf sekolah lainnya, dan pihak institusi di luar sekolah (pemerintah, dan swasta) untuk memperoleh informasi, dan umpan balik tentang layanan bantuan yang telah diberikannya kepada para siswa, menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif bagi perkembangan siswa, melakukan referal, serta meningkatkan kualitas program bimbingan dan konseling. Dengan kata lain strategi ini berkaitan dengan upaya sekolah untuk menjalin kerjasama dengan unsur-unsur masyarakat yang dipandang relevan dengan peningkatan mutu layanan bimbingan. Jalinan kerjasama ini seperti dengan pihak-pihak (1) instansi pemerintah, (2) instansi swasta, (3) organisasi profesi, seperti ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia), (4) para ahli dalam bidang tertentu yang terkait, seperti psikolog, psikiater, dokter, dan orang tua siswa, (5) MGBK (Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling), dan (6) Depnaker (dalam rangka analisis bursa kerja/lapangan pekerjaan).
    c.    Manajemen Program
Suatu program layanan bimbingan dan konseling tidak mungkin akan tercisekolaha, terselenggara, dan tercapai bila tidak memiliki suatu sistem pengelolaan (manajemen) yang bermutu, dalam arti dilakukan secara jelas, sistematis, dan terarah. Mengenai arti manajemen itu sendiri Stoner (1981) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: “Management is the process of planning, organizing, leading and controlling the efforts of organizing members and of using all other organizational resources to achieve stated organizational goals”.


IMPLIKASI
Pembimbing, Guru, dan personel sekolah lainnya perlu mendapatkan penambahan, perluasan, atau pendalaman tentang konsep-konsep atau keterampilan-keterampilan tertentu tentang bimbingan dan Konseling sangat diperlukan untuk menciptakan pelayanan bimbingan secara bermutu.
Selain itu, konselor perlu melakukan konsultasi dan kolaborasi dengan guru, orang tua, staf sekolah lainnya, dan pihak instansi di luar sekolah (pemerintah dan swasta) untuk memberikan layanan bimbingan dan konseling secara akurat dan bijaksana, dalam upaya memfasilitasi individu atau peserta didik mengembangkan potensi dirinya secara optimal, untuk memperoleh informasi, dan umpan balik tentang layanan bantuan yang telah diberikannya kepada para siswa, menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif bagi perkembangan siswa, melakukan referal, serta meningkatkan kualitas program layanan bimbingan dan konseling.
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf, Syamsu., dan A. Juntika Nurihsan. 2008. Landasan Bimbingan & Konseling. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Winkel, W.S. 1982. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah Menengah. Jakarta: PT Gramedia

Related Post



Tidak ada komentar:

Posting Komentar