MASALAH-MASALAH SISWA
DI SEKOLAH SERTA PENDEKATAN-PENDEKATAN UMUM DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING
(STRATEGI BIMBINGAN DAN KONSELING)
A.
Masalah-masalah Siswa di Sekolah
Apakah yang dimaksud “masalah”
(persoalan, problema)? Masalah ialah suatu yang menghambat, merintangi,
mempersulit bagi orang dalam usahanya mencapai sesuatu. Bentuk konkrit dari
hambatan/rintangan itu dapat bermacam-macam, misalnya godaan, gangguan dari
dalam atau dari luar, tantangan yang ditimbulkan oleh situasi hidup. Masalah
yang timbul dalam kehidupan siswa di sekolah beraneka ragam, diantaranya
sebagai berikut:
1.
Masalah
Perkembangan Individu
Setiap individu
dilahirkan ke dunia dengan membawa hereditas tertentu. Hal ini berarti bahwa
karakteristik individu diperoleh melalui pewarisan dari pihak orang tuanya.
Karakteristik tersebut menyangkut fisik dan psikis atau sifat-sifat mental.
Hereditas merupakan
aspek bawaan dan memiliki potensi untuk berkembang. Seberapa jauh perkembangan
individu itu terjadi dan bagaimana kualitas perkembangannya, bergantung kepada
kualitas hereditas dan lingkungan yang mempengaruhinya. Lingkungan merupakan
factor penting disamping hereditas yang menentukan perkembangan individu.
Perkembangan dapat
berhasil dengan baik, jika factor-faktor tersebut bisa saling melengkapi. Untuk
mencapai perkembangan yang baik harus ada asuhan terarah. Asuhan dalam
perkambangan dengan melalui proses belajar sering disebut pendidikan.
Tugas-tugas
perkembangan ini berkaitan dengan sikap, perilaku atau keterampilan yang
seyogianya dimiliki oleh individu, sesuai dengan usia atau fase
perkembangannya. Hurlock (1982) mengemukakan bahwa tugas-tugas perkembangan
merupakan social expectations (harapan-harapan sosial masyarakat). Dalam arti
setiap kelompok budaya mengharapkan para anggotanya menguasai keterampilan
tertentu yang penting dan memperoleh pola perilaku yang disetujui bagi berbagai
usia sepanjang rentang kehidupan.
Dalam mencapai tugas-tugas perkembangan ini, tidak sedikit
yang mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor (1) tidak atau
kurang adanya bimbingan untuk memahami dan menguasai tugas-tugas perkembangan,
(2) kurang memiliki motivasi untuk berkembang ke arah kedewasaan, (3) mengalami
kesehatan yang buruk (sakit-sakitan), (4) cacat tubuh, (5) tingkat kecerdasan
yang rendah, dan (6) iklim lingkungan yang kurang baik.
Kegagalan mencapai
tugas-tugas perkembangan ini akan melahirkan perilaku yang menyimpang
(delinquency) atau situasi kehidupan yang tidak bahagia, penyimpangan perilaku
yang dialami individu, sebagai dampak dari tidak tertuntaskannya tugas-tugas
perkembangan akan bervariasi sesuai dengan fase perkembangannya.
Penyimpangan perilaku
yang dialami anak berusia sekolah dasar diantaranya adalah (1) suka membolos
dari sekolah, (2) malas belajar, dan (3) keras kepala. Pada usia remaja,
penyimpangan perilaku yang dialaminya seperti (1) suka mengisolir diri, (2)
meminum-minuman keras keras, (3) mengkonsumsi obat-obat terlarang atau narkoba,
(4) tawuran, (5) malas belajar, (6) kurang bersikap hormat kepada orangtua dan orang
dewasa lainnya. Sementara penyimpangan perilaku orang dewasa, diantaranya
adalah (1) berselingkuh dengan istri/suami orang, (2) menelantarkan kehidupan
keluarga (istri dan anak), (3) menjadi biang keladi kerusuhan (provokator)
dalam masyarakat, (4) melakukan tindak criminal, dan (5) tidak melaksanakan
perintah agama.
Masa belajar disekolah
atau perguruan tinggi merupakan masa transisi, sebagai proses untuk mencapai
kematangan, dan masa persiapan untuk mencapai kehidupan dewasa yang berarti.
Dalam hubungan ini sekolah atau perguruan tinggi mempunyai peranan yang penting
dalam membantu siswa (mahasiswa) untuk mencapai taraf perkembangan, melalui
penuntasan atau pencapaian tugas-tugas perkembangannya secara optimal.
Pelayanan bimbingan dan
konseling merupakan komponen pendidikan yang dapat membantu para siswa atau
mahasiswa dalam proses perkembangannya. Demikianlah, pemahaman terhadap masalah
perkembangan dengan prinsip-prinsipnya akan merupakan kebutuhan yang mendasar
bagi pelaksana pelayanan bimbingan dan konseling.
2.
Masalah
Perbedaan Individu
Keunikan Individu
mengandung arti bahwa tidak ada 2 orang individu yang sama persis dalam aspek
pribadinya,baik aspek jasmani maupun rohaniah. Induvidu yang satu berbeda
dengan individu lainya. Timbulnya perbedaan individu ini dapat dikembalikan
Kepada factor pembawaan dan lingkungan sebagai komponen utamabagi terbentuknya
kmeunikan individu. Perbedaan pembawaan akan memungkinkan perbedaan individu,
meskipun dengan lingkungan yang sama, sebaliknya lingkungan yang berbeda akan
memungkinkan timbulnya perbedaan individu, meskipun pembawaannya sama.
Di sekolah sering kali
tampak masalah perbedaan individu ini, misalnya ada siswa yang sangat cepat dan
ada yang sangat lambat belajar. Ada yang menonjol dalam kecerdasan tertentu
tapi kurang cerdas pada bidang yang lain.Kenyataan ini akan membawa konsekuensi
bagi pelayanan pendidikan, khususnya yang menyangkut bahan pelajaran, metode
mengajar,alat alat pelajaran, pelayanan lainnya. Siswa akan menghadapi
kesulitan dalam penyesuaian diri antara keunikan dirinya dengan dengan tuntutan
dalam lingkungannya. Hal ini di sebabkan karena pelayanan pada pada umumnya
program pendidikan memberikan pelayanan atas dasar ukuran pada umumnya atau
rata-rata.
Mengingat bahwa yang
menjadi tujuan pendidikan adalah
perkembangan yang optimal dari setiap individu, maka masalah perbedaan individu
ini perlu mendapat perhatian dalam pelayanan pendidikan. Dengan kata lain
sekolah hendaknya memberikan pelayanan kepada para siswa secara individual
sesuai dengan keaunikan masing-masing. Usaha melayani siswa secara individual
ini dapat diselenggarakan melalui program bimbingan dan konseling.
Beberapa segi perbedaaan individual yang
perlu mendapat perhatian diantaranya ialah perbedaan dalam :
o
Kecerdasan
o
Prestasi belajar
o
Sikap dan
kebiasaan belajar
o
Motivasi belajar
o
Temperamen
o
Karakter
o
Minat
o
Ciri- ciri fisik
o
Cita- cita
o
Kemampuan dalam
komunikasi atau berhubungan interpersonal
o
Kemandirian
o
Kedisiplinan,
dan
o
Tangung jawab
Untuk memahami
karakteristik diatas, dapat dilakukan melalui teknik tes dan non tes. Teknik
tes meliputi psikotes dan tes prestasi belajar. Sementara teknik non-tes
meliputi angket, wawancara, observasi, sosiometri, autobiografi dan catatan
anekdot. Data tentang keragaman atau perbedaan tersebut akan besar sekali
manfaatnya bagi usaha layanan bimbingan dan konseling.
3.
Masalah
Kebutuhan Individu
Kebutuhan merupakan
dasar timbulnya tingkah laku individu. Individu bertingkah laku karena ada
dorongan untuk memenuhi kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhan ini sifatnya mendasar
bagi kelangsungan hidup individu itu sendiri. Jika individu berhasil dalam
memenuhi kebutuhannya, maka dia akan merasa puas, dan sebaliknya kegagalan
dalam memenuhi kebutuhan ini akan banyak menimbulkan masalah baik bagi dirinya
maupun bagi lingkungan.
Dengan berpegang kepada
prinsip bahwa tingkah laku individu merupakan cara dalam memenuhi kebutuhannya,
maka kegiatan belajar pada hakikatnya merupakan perwujudan usaha pemenuhan
kebutuhan tersebut. Sekolah hendaknya menyadari hal tersebut, baik dalam
mengenal kebutuhan-kebutuhan pada diri siswa, maupun dalam memberikan bantuan
yang sebaik-baiknya dalam usaha memenuhi kebutuhan tersebut. Seperti telah
dikatakan di atas, kegagalan dalam memenuhi kebutuhan ini akan banyak
menimbulkan masalah-masalah bagi dirinya.
Pada umumnya secara psikologis dikenal
ada dua jenis kebutuhan dalam diri individu yaitu kebutuhan biologis dan
kebutuhan sosial/psikologis. Beberapa diantara kebutuhan-kebutuhan yang harus
kita perhatikan ialah kebutuhan:
o
memperoleh kasih
sayang;
o
memperoleh harga
diri;
o
untuk memperoleh
pengharapan yang sama;
o
ingin dikenal;
o
memperoleh
prestasi dan posisi;
o
untuk dibutuhkan
orang lain;
o
merasa bagian
dari kelompok;
o
rasa aman dan
perlindungan diri;
o
untuk memperoleh
kemerdekaan diri.
Pengenalan terhadap
jenis dan tingkat kebutuhan siswa sangat diperlukan bagi usaha membantu mereka.
Program bimbingan dan konseling merupakan salah satu usaha kearah itu.
Menurut Maslow, setiap
individu memiliki kebutuhan-kebutuhan yang tersusun secara hirarki dari tingkat
yang paling mendasar sampai pada tingkat yang paling tinggi. Setiap kali
kebutuhan pada tingkatan paling bawah terpenuhi maka akan muncul kebutuhan lain
yang lebih tinggi.
a.
Kebutuhan
Biologis
Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang paling dasar. Kebutuhan ini berfungsi
mempertahankan hidupnya secara fisik yaitu kebutuhan akan makan,minuman, seks,
istirahat dan oksigen. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan menyebabkan
kematian.
b.
Kebutuhan Rasa
Aman
Kebutuhan ini sangat penting bagi setiap
orang, baik anak remaja maupun dewasa. Pada anak kebutuhan akan rasa aman ini
Nampak dengan jelas, sebab mereka suka mereaksi secara langsung sesuatu yang
mengancam dirinya. Agar kebutuhan anak akan rasa aman ini terpenuhi, maka perlu
diciptakan iklim kehidupan yang memberikan kebebasan (freedom) untuk
berekspresi. Pada orang dewasa kebutuhan akan rasa aman ini memotivasinya untuk
mencari keraja, menbung uang, atau menjadi peserta asuransi. Orang dewasa yang
sehat mentalnya ditandai dengan perasaan aman, bebas dari rasa takut, dan
cemas. Sedangkan yang tidak sehat, ditandai dengan perasaan seolah-olah
selalu dalam keadaan terancam bencana
besar.
c.
Kebutuhan akan
Pengakuan dan Kasih Sayang
Kebutuhan ini dapat diekspresikan dalam
berbagai cara seperti persaudaraan, persahabatan, atau pergaulan yang lebih
luas. Melalui kebutuhan ini seseorang mencari pengakuan dan curahan kasih
saying dari orang lain, baik dari orangtua, saudara, guru, pimpinan, teman,
atau orang dewasa lainnya. Kebutuhan untuk diakui sulit dipuaskan pada suasana
masyarakat yang mobilisasinya sangat cepat terutama di kota-koa besar yang gaya
hidupnya sudah bersifat individualistic. Sebaliknya kebutuhan ini akan mudah
terpuaskan dalam suasana masyarakat yang akrab, penuh persahabatan atau
persaudaraan. Kebutuhan akan kasih sayang atau mencintai-dicintai dapat
dipuaskan melalui hubungan yang akrab dengan lain (persahabatan dan
persaudaraan).
Dalam hal ini maslow membedakan antara
cinta (love) dengan sex (kebutuhan biologis), meskipun diakuinya bahwa seks
merupakan salah satu cara pernyatan kebutuhan cinta. Dia sependapat dengan
rumusan cinta dari Rogers yaitu bahwa cinta merupakan “Keadaan dimengerti
secara mendalam dan diterima dengan sepenuh hati.” Maslow berpendapat bahwa
kegagalan mencapai kepuasan kebutuhan cinta atau kasih sayang merupakan
penyebab utama dari gangguan emosional atau maladjustment.
d.
Kebutuhan akan
Penghargaan
Jika seseorang telah merasa diakui, maka
dia akan mengembangkan kebutuhan akan perasaan berharga. Kebutuhan ini meliputi
dua kategori yaitu:
1)
Harga diri (self
esteem) yang meliputi: kepercayaan diri, kompetensi, kecukupan, prestasi dan
kebebasan
2)
Penghargaan dari
orang lain(esteem from oher people) yang meliputi: pengakuan, perhatian,
prestise, respek dan kedudukan (status)
Memperoleh kepuasan dari kebutuhan ini
memungkinkan seseorang memiliki rasa percaya diri akan kemampuan dan
penampilannya menjadi kompeten dan produktif dalam semua aspek kehidupan. Sebaliknya
apabila seseorang mengalami kegagalan, atau mengalami “lack of self-esteem”
maka dia akan mengalami perasaan rendah diri (inferior), tak berdaya, tak
bersemangat, dan kurang percaya diri akan kemampuannya untuk mengatasi masalah
kehidupan yang dihadapinya.
e.
Kebutuhan
Kognitif
Secara alami manusia memiliki hasrat
ingin memperoleh pemahaman tentang sesuatu. Hasrat ini mulai berkembang sejak
akhir usia bayi dan awal masa kanak-kanak, yang diekspresikan sebagai rasa
ingin tahunya (curiosity) dalam bentuk pengajuan pertanyaan-pertayaan tentang
berbagai hal, baik terkait dengan dirinya sendiri maupun lingkungannya (sperti
benda-benda, hewan, dan tumbuh-tumbuhan). Rasa ingin tahu ini biasanya
terhambat perkembangannya oleh lingkungan yang terlalu membatasi atau otoriter,
baik dilingkungan keluarga maupun sekolah. Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan
ini akan menghambat pencapaian perkembangan kepribadian secara penuh. Menurut
Maslow, rasa ingin tahu ini merupakan ciri mental yang sehat. Kebutuhan
kognitif ini diekspresikan sebagai kebutuhan untuk memahami, menganalisis,
mengevaluasi, menjelaskan, mencari sesuatu atau suasana baru, dan meneliti.
f.
Kebutuhan
Estetik
Kebutuhan estetik (order & beauty)
merupakan ciri orang yang sehat mentalnya. Melalui kebutuhan inilah, manusia
dapat mengembangkan kreativitasnya dalam bidang seni (seperti lukis, rupa,
patung, dan grafis), arsiektur, tata busana, tata boga, dan tata rias. Di
samping itu orang yang sehat mentalnya ditandai dengan kebutuhan akan
keteraturan, keserasian, atau keharmonisan dalam setiap aspek kehidupannya,
seperti dalam cara berpakaian (rapi dengan keterpaduan warna yang serasi),
penataan rumah (penempatan meubeler, vas bunga, dsb), dan pemeliharan
ketertiban berlalu lintas. Orang yang kurang sehat mentalnya, mengalami
gangguan emosional atau stress, biasanya kurang memperhatikan kebutuhan ini
seperti: tidak rapi dalam berpakaian, kurang memperhatikan kebersihan, dan
kurang apresiatif terhadap keteraturan dan kehidupan.
g.
Kebutuhan
Aktualisasi Diri
Kebutuhan ini merupkan puncak dari
hierarki kebutuhan manusia, yaitu perwujudan potensi dan kapabilitas secara
penuh. Walaupun kebutuhan lainnya terpenuhi, namun apabila kebutuhan ini tidak
terpenuhi, dalam arti seseorang itu tidak dapat mengembangkan kemampuan atau potensinya
secara penuh, maka dia akan mengalami kegelisahan, ketidaknyamanan atau
frustasi. Contoh: jika seseorang memiliki kemampuan potensial dalam bidang
musik, tetapi dia disuruh bekerja sebagai akuntan maka dia akan mengalami
kegagalan dalam mengaktualisasikan dirinya.
Maslow berpendapat bila seseorang telah
mampu mengaktualisasikan dirinya secara penuh (self-actualizing person) berarti
dia telah memiliki kepribadian yang sehat. Maslow mengemukakan teori motivasi
bagi “self-actualizing person” dengan nama “Metamotivation, Meta-needs,
B-Motivation, atau Being Values.” Seseorang yang telah mampu mengaktualisasikan
dirinya tidak termotivasi dirinya untuk mengejar sesuatu yang khusus, mereduksi
ketegangan, atau memuaskan suatu kebutuhan, etapi mencapai tujuan secara
menyeluruh (tujuannya untuk memperkaya dan memperluas kehidupannya dan
mengurangi keegangan melalui berbagai pengalaman yang menantang). Dia berusaha
untuk mengembangkan potensinya secara maksimal, dengan memperhatikan
lingkungannya. Dia juga berada dalam keadaan menjadi (becoming) yaitu spontan,
alami, dan senang mengekspresikan potensinya secara penuh.
Sementara itu motivasi bagi mereka yang
tidak mampu mengaktualisasikan dirinya, dia namai “D-motivation” atau
“deficiency.” Tipe motivasi ini mengejar hal-hal yang khusus untuk memenuhi
kekurangan atau kebutuhan dalam dirinya seperti mencari makanan untuk memenuhi
rasa lapar. Ini berarti bahwa kebutuhan khusus (lapar) untuk tujuan yang khusus
(kenyang, menyantap makanan) menghasilkan motivasi untuk memperoleh sesuatu
yang dirasakannya kurang (mencari makanan). Motif ini tidak hanya berhubungan
dengan kebutuhan fisologis tetapi juga rasa aman, cinta kasih, dan penghargaan.
4.
Masalah
Penyesuaian Diri dan Kesehatan Mental
Kegiatan atau tingkah merupakan laku individu pada hakikatnya
merupakan cara pemenuhan kebutuhan. Banyak cara yang dapat ditempuh individu
untuk memenuhi kebutuhannya, baik secara yang wajar maupun yang tidak wajar,
cara yang disadari maupun cara yang tidak disadari. Yang penting untuk dapat
memenuhi kebutuhan ini, indiviidu harus dapat menyesuaikan antar kebutuhan
dengan segala kemungkinan yang ada dalam lingkungan, disebut sebagai proses
penyesuaian diri. Individu harus dapat menyesuaikan diri dengan berbagai
lingkungan baik lingkungan sekolah, rumah maupum masyararakat.
Proses penyesuaian diri ini menimbulkan
berbagai masalah terutama bagi diri individu sendiri.terdapat 2 jenis proses
penyesuain diri. Yaitu : (1) “Well adjusted” yaitu keadaan dimana individu
dapat berhasil memenuhi kebutuhannya sesuai dengan kebutuhannya sesuai dengan
lingkungannya dan tanpa menimbulkan gangguan atau kerugian bagi lingkungannya.
(2) Maladjusted yaitu keadaan dimana individu gagal dalam proses penyesuaian
tersebut.
a.
Penyesuaian
Normal
Schneiders (1964: 51) berpendapat adalah
penyesuaian adalah proses yang melibatkan respon-respon mental dan perbuatan
individu dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan, dan mengatasi ketegangan,
frustasi, dan konflik secara sukses, serta menghasilkan hubungan yang harmonis
antara kebutuhan dirinya dengan norma atau tuntutan lingkungan dimana dia
hidup.
Selanjutnya akan dijelaskan ciri-ciri
orang well adjusted yaitu “ yang mampu merespon (kebutuhan, dan masalah) secara
matang, efisien, puas, dan sehat (wholesome).” Yang dimaksud efisien adalah
hasil yang diperolehnya tidak banyak membuang energi, waktu, dan kekeliruan.
Sementara wholesome adalah respon individu itu sesuai dengan hakikat
kemanusiaannya, hubungan dengan yang lain, dan hubungannya dengan Tuhan.
Orang yang memiliki kemampuan untuk
mereaksi kebutuhan dirinya atau tuntutan lingkungannya secara matang, sehat dan
efisien sehingga dapat memecahkan
konflik-konflik mental., frustasi, dan kesulitan-kesulitan pribadi dan
sosialnya tanpa mengembangkan tingkah laku simtomatik (seperti rasa cemas,
takut, khawatir, obsesi, pobia, atau psikosomatik). Dia adalah orang yang
berupaya menciptakan hubungan interpersonal dan suasana yang saling
menyenangkan yang berkotribusi kepada perkembangan kepribadian yang sehat.
Orang yang memiliki sikap iri hati,
hasud, cemburu, atau, permusuhan merupakan respon yang “unwholesome” (tidak
sehat), sedangkan sikap persahabatan , toleransi, dan pemberi pertolongan
merupakan respon yang “wholesome”.
Berdasarkan pengertian diatas, maka
seseorang itu dapat dikatakan memiliki penyesuaian diri yang normal, yang baik
(well adjustment) apabila dia mampu memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalahnya
secara wajar, tidak merugikan diri-sendiri dan lingkungannya, serta sesuai
dengan norma agama.
Menurut Schneiders (1964: 274-276)
penyesuaian yang normal ini memiliki karakter sebagai berikut :
1)
Absence of
excessive emotionality (Terhindar dari ekspresi emosi yang berlebih-lebihan,
merugikan, atau kurang mampu engontrol diri).
2)
Absence of
psychological machanisme (Terhindar dari mekanisme-mekanisme psikologis,
seperti rasionalisasi, agresi, kompensasi dan sebagainya).
3)
Absence o the
sense of personal frustration (Terhindar dari perasaan frustasi atau perasaan
kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhannya).
4)
Rational
deliberaton and self-direction (Memiliki pertimbangan dan pengarahan diri yang
rasional, yaitu mmpu memecahkan masalah berdasarkan alternative-alternatif yang
telah dipertimbangkan secara matang dan mengarahkan diri sesuai dengan
keputusan yang diambil).
5)
Ability to learn
(Mampu belajar, mampu mengembangkan kualitas dirinya, khususnya yang berkaitan
dengan upaya untuk memenuhi kebutuhan atau mengatasi masalah seari-hari).
6)
Utilization of
past experience (Mampu memanfaatkan penglaman masa lalu, bercermin ke masa lalu
bik yang berkaitan dengan keberhasiln maupun kegagalan untuk mengembangkan
kualitas hidup yang lebih baik).
7)
Realistic,
objective attitude (Bersikap objektif dan realistik; mampu menerima kenyataan
hidup ang dihadap secara wajar; mampu menghindari, merespon situasi atau
masalah secara rasional, tidak didasari oleh prasangka buruk atau negative).
b.
Penyesuaian
Menyimpang
Penyesuaian diri yang menyimpang atau
tidak normal merupakan proses pemenuhan kebutuhan atau upaya pemecahan masalah
dengan cara-cara yang tidak wajar atau bertentangan dengan norma yang dijunjung
tinggi oleh masyarakat. Dapat juga dikatakan bahwa penyesuaian yang menyimpang
ini adalah sebagai tingkah laku abnormal (abnormal behavior), terutama terkait
dengan criteria sosiopsokologis dan agama. Penyesuaian yang menyimpang atau
tingkah laku abnormal ini ditandai dengan respon-respon berikut.
1)
Reaksi Bertahan
Organisme atau individu dikepung oleh
tuntutan dari dalam diri sendiri dan dari luar yang kadang-kadang mengancam
rasa aman egonya. Untuk melindungi rasa aman organisasinya, individu mereaksi
dengan mekanisme pertahan diri.
Mekanisme pertahanan dapat diartikan
sebagai respon yag tidak disadari yang berkembang dalam kepribadian individu,
dan menjadi menetap, sebab dapat menetap, sebab dapat mereduksi ketegangan dan
frustasi, dan dapat memuaskan tuntutan-tuntutan penyesuaian diri.
Orang yang berusaha mempertahanan diri
sendiri, seolah-olah tidak mengalami kegagalan, menutupi kegagalan, atau
menutupi kelemahan dirinya sendiri dengan cara-cara atau alasan tertentu.
Bentuk reaksi ini diantaranya:
Konpensasi : menutupi kelemahan dalam satu hal, dengan cara mencari
kepuasan pada bidang lain.
Sublimasi : menutupi atau mengganti kelemahan atau kegagalan dengan cara
atau kegiatan yang mendapatkan pengakuan (sesuai dengan nilai-nilai)
masyarakat.
Proyeksi : melemparkan sebab kegagalan dirinya kepada pihak lain.
Mekanisme pertahanan diri ini
dilatarbelakangi oleh dasar-dasar psikologis, seperti: inferiority, inadequacy,
failure, dan guilt. Masing-masing dasar-dasar psiklogis itu akan dibahas dalam
uraian berikut.
a)
Perasaan Rendah Diri
Inferioritas ini dapat diartikan sebagai
perasaan atau sikap yang pada umumnya tidak disadari yang berasal dari
kekurangan diri, baik secara nyata maupun maya (imajinasi)
Inferioritas ini menimbulkan
gejala-gejala sikap dan perilaku berikut.
o Peka (merasa tidak senang) terhadap kritikan orang
lain.
o Sangat senang terhadap pujian atau penghargaan.
o Senang mengkritik atau mencela orang lain.
o Kurang senang untuk berkompetisi
o Cenderung senang menyendiri
Berkembangnya sikap inferioritas ini
dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu sebagai berikut.
Kondisi fisik: lemah, kerdil, cacat, tidak berfungsi, atau wajah yang
tidak menarik.
Psikologis : kecerdasan di bawah rata-rata, konsep diri yang negative
sebagai dampak dari frustasi yang terus meneruskan dalam memenuhi kebutuhan
dasar (seperti selalu gagal untuk memperoleh status, kasih sayang, prestasi,
dan pengakuan).
Kondisi lingkungan yang tidak kondusif : hubungan interpersonal dalam
keluarga tidak harmonis, kemiskinan, dan perlakuan yang keras dari orang tua.
b)
Perasaan Tidak Mampu
“Inadequasi” merupakan ketidakmampuan
seseorang untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dari lingkungan. Contoh: seorang ibu
rumah tangga merasa tidak mampu mengelola urusan keluarga; dan seorang siswa
mengeluh, karena tidak mampu memenuhi tuntutan akademik di sekolahnya. Sama
halnya dengan inferioritas, factor penyebab perasaan tidak mampu ini adalah:
frustasi dan konsep diri yang tidak sehat.
c)
Perasaan Gagal
Perasaan ini sangat dekat hubungannya
dengan perasaan “inadequacy”, karena jika seseorang sudah merasa bahwa dirinya
tidak mampu, maka dia cenderung mengalami kegagalan untuk melakukan sesuatu
atau mengatasi masalah yang dihadapinya.
d)
Perasaan Bersalah
Perasaan bersalah ini muncul setelah
seseorang melakukan perbuatan yang melanggar aturan moral, atau sesuatu yang
dianggap berdosa.
Mekanisme pertahanan diri ini memiliki
beberapa bentuk, yaitu sabagai berkut.
1. Kompensasi
Kompensasi diarta sebagai usaha-usaha
psikis yang biasanya tidak disadari untuk menutupi keterbatasan atau kelemahan
diri dengan cara mengmbangkan respon-respon yang dapat mengurangi ketegangan
dan frustasi sehingga dapat meningkatkan penyesuaian individu.
Kompensasi dilakukan dengan tujuan
hal-hal berikut.
1)
Mensubstitusi pestasi nyata.
2)
Mengalihkan perhatian dari ketidakmampuan
3)
Memelihara status, harga diri dan interitas.
Untuk mengetahui wujud kompensasi dapat
dilihat dari gejalanya yang nampak dalam bentuk-bentuk periaku sebagai berikut.
1)
Overreaction (Reaksi yang berlebihan)
2)
Identifikasi, seperti ada orangtua yang senang membicarakan keberhasilan
anaknya, dalam rangka menutup kelemahan dirinya mencapai hal itu.
3)
Bermain dan berfantasi
Penjelasan diatas menunjukan bahwa
kompensasi termasuk maladjustment. Walaupun begitu dalam kehidupan nyata
sehari-hari, tidak sedikit bahwa proses kompensasi itu dapat membantu individu
mencapai kepuasan. Contoh : Ada seorang anak yang mengkompensasi frustasinya
(gagal dalam memenuhi kerinduannya untuk mendapatkan kasih sayang dari orang
tuanya) dengan cara mekukn kegiatan bermain.
Contoh ini mengidentifikasikan bahwa
kompensasi itu dapat mengatasi masalah tanpa menimbulkan gejala-gejala perilaku
yang maladjustment. Agar reaksi kompensasi itu dapat mendukung penyesuaian yang
sehat, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut.
1)
Dalam mereduksi
ketegangan atau frustasi jangan menimbulkan kerusakan pada diri individu itu
sendiri.
2)
Kembangkanlah
kompensasi itu dengan penuh kesabaran dan pertimbangan.
3)
Landasilah
kompensasi itu dengan kesadaran yang jelas tentang keterbatasan atau kelemahan
diri sendiri.
4)
Jangan
menghindar untuk mencapai prestasi, tetapi tingkatkanlah usaha untuk
mencapainya.
5)
Jangan
mengfungsikan kompensasi sebagai substitusi dari upaya yang baik (sehat).
6)
Tingkatkan
kesejahteraan psikologis.
2. Sublimasi
Sublimasi adalah pengerahan
energy-energi drive atau motif secara tidak sadar ke dalam kegiatan-kegiatan
yang dapat diterima secara social maupun moral.
Sublimasi ini bertujuan untuk mereduksi
ketegangan, frustasi, konflik, dan memelihara integritas (keutuhan) ego. Dalam
hal ini sublimasi mirip dengan kompensasi, namun begitu terdapat perbedaan
diantara keduanya, yaitu kompensasi berkembang dari perasaan “inadequacy”,
sedangkan sublimasi berkembang dari “guilty feeling” yang terkait dengan
motif-motif agresi, curiocity, kekejaman, dan keibuan.
Beberapa contoh mekanisme sublimasi
adalah sebagai berikut:
Dorongan keibuan (maternal drive), atau dorongan cinta kasih
disublimasikan kepada kegiatan-kegiatan mengajar, kerja social, dan kegiatan
lain yang memberi peluang untuk mengekspresikan kecintaan kepada anak.
Dorongan rasa ingin tahu (curiocity) yang seering diekspresikan ke dalam
cara-cara yang tidak diinginkan, seperti: voyeurism, peeping (mengintip),
percakapan seksual, dan gossip (gibah) yang mengakibatkan timbulnya perasaan
bersalah atau berdosa dapat disublimasikan ke dalam kegiatan seni dan
penelitian ilmiah.
3. Rasionalisasi
Rasionalisasi dapat diartikan sebagai
upaya mereka-reka alasan untuk menutupi suasana emosional yang tidak nyaman,
tidak dapat diterima, atau merusak keutuhan (ego) atau status.
Dengan melakukan perbuatan atau tingkah
laku yang nampaknya rasional, individu melindungi dirinya dari kritikan diri
sendiri dan oranglain dalam upaya memelihara keutuhan ego. Perasaan tidak
mampu, gagal, dan berdosa merupakan sumber penyebab psikologis rasionalisasi.
Walaupun begitu, rasionalisasi digunakan juga dalam berbagai situasi pada saat
tuntutan penyesuaian diri memerlukan pemecahannya.
Untuk mengetahui reaksi rasionalisasi
ini pada uraian berikut akan diberikan contoh-contohnya:
1)
Seorang siswa
tidak dapat melaksanakan tugas untuk bercerita, dengan alasan bukunya lupa
tidak dibawa.
2)
Seorang pegawai
terlambat datang bekerja, dengan alasan kendaraanya terjebak macet.
3)
Seorang siswa
tidak lulus ujian, dengan alasan sakit.
Setiap kasus diatas mempunyai kesamaan
sumber penyebab, yaitu ketidakmampuan menghadapi (1) kegagalan secara wajar,
(2) menghadapi kelemahan, dan (3) menerima tanggung jawab.
Para ahli psikologi sepakat bahwa
rasionalisasi dapapt merusak integritas pribadi dan penyesuaian diri yang
sehat. Rasionalisasi tidak ada bedanya dengan berbohong, karena kedua-duanya
menunujukkan gejala inkonsistensi, kontradiksi pribadi, dan inkoherensi. Hal
ini terjadi karena kedua-duanya merupakan upaya untuk memelihara integritas
pribadi yang fiktif dan menghindari situasi atau kondisi yang nyata.
4. Sour Grape (Anggur
Masam)
Istilah ini berasal dari suatu cerita,
yaitu: ada seekor rubah yang sangat menyenangi buah anggur, tetapi dia gagal
meraih buah anggur tersebut. [ada saat itu dia berbicara pada dirinya, buah
angggur itu sangat masam rasanya.
Mekanisme pertahanan diri ini sama
dengan rasionalisasi, yaitu sikap menipu diri sendiri (self deception). Sikap
“sour grape” ini merupakan indikasi ketidakmampuan, dan kelemahan kepribadian,
karena mendistorsi kenyataan. Oleh karena itu sikap ini merupakan penyesuaian
diri yang tidak normal.
Contoh-contoh sikap “sour grape”: siswa
yang gagal di sekolah, seorang pekerja yang kehilangan pekerjaannya, seorang
suami mencerai istrinya, atau seorang penulis yang gagal mempublikasikan
karyanya, masing-masing mereka mungkin akan menggunakan mekanisme “sour grape”
ini dalam upaya menenangkan perasaan frustasinya.
5. Egosentrisme dan
Superioritas
Egosentrisme dan Superioritas merupakan
sikap-sikap yang dipandang efektif untuk melindungi dampak-dampak buruk dari
perasaan inferioritas dan perasaan gagal dalam mencapai sesuatu yang disenangi.
Egosentrisme dapat diartikan sebagai
perbuatan pura-pura yang tidak disadari untuk mencapai kualitas superior, dan
usaha untuk menyembunyikan inferioritasnya.
Faktor-faktor yang menyebabkan
berkembangnya sikap egosentris adalah
o Perasaan tidak aman (insecurity) yang pada umumnya
berasal dari perasaan rendah diri (inferiority)
o Perlakuan orangtua yang sangat memanjakan, atau yang
selalu memberikan pujian atau membangga-banggakannya.
6. Introjeksi dan
Identifikasi
Kedua mekanisme pertahanan diri ini
sama-sama berusaha untuk memelihara atau melindungi ego dari kelemahannya.
Introjeksi merupakan mekanisme dengan cara individu berusaha mengasimilasi
kualitas-kualitas yang diingini atau disenangi dari orang lain atau kelompok.
Efisiensi asimilasi ini tergantung
kepada tingkat kemampuan seseorang dalam mengidentifikasi dirinya dengan orang
lain. Sementara identifikasi diartikan sebagai “suatu proses dimana seseorang
membangun persamaan psikologis dengan orang lain, baik dalam aspek kapasitas
maupun sifat-sifat”. Dapat juga diartikan sebagai “sikap menerima identitas
orang lain atau kelompok secara tidak disadari untuk meningkatkan prestige atau
harga diri” .
Contoh: anak laki-laki mengidentifikasi
kekuatan ayahnya dan kemudian mengintrojeksi kualitas-kualitas pribadinya,
seperti keberanian dan kematangan.
7. Proyeksi dan Sikap
Mencela (Blaming)
Proyeksi merupakan “mekanisme pertahanan
diri dimana individu melepas dirinya sendiri dari kualitas atau keadaan yang
tidak diinginkan dengan cara mengkambinghitamkan orang lain atau sesuatu
sebagai penyebabnya ”.
Contoh:
o Seorang pekerja yang gagal dalam mengerjakan
tugasnya memproyeksikan kegagalannya kepada mesin, bukan kepada dirinya yang
tidak mampu menyelesaikan tugasnya.
o Seorang remaja yang nakal memproyeksikan penyebab
kenakalannnya kepada orangtuanya, bukan kepada dirinya sendiri.
Proyeksi ini sering dihubungkan dengan
reaksi “blamming” dan merefleksikan perasaan tidak mampu dan tidak bersalah
yang mendalam,. Ketika seseorang mencela atau menyalahkan orang lain, karena
ketidakmampuan dan kegagalannya merupakan indikasi yang baik bahwa dia merasa
bersalah, dan secara tidak langsung dia telah mencela kelemahan dirinya
sendiri.
8. Represi
Represi merupakan proses penekanan
pengalaman, dorongan, keinginan, atau pikiran yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip moral dan social kea lam tak sadar, karena hal itu mengancam
keamanan egonya.
Represi melindungi organisme dari
ketegangan, frustasi, perusakan ego, dan juga dapat mengembangkan motif-motif
yang tidak disadari yang mengraha kepada pembentukan gejala-gejala gangguan
tingkah laku.
Semua bentuk mekanisme pertahanan diri
tersebut di atas, sama-sama bertujuan untuk mereduksi ketegangan, konflik,
frustasi, dalam upaya melindungi keamanan egonya. Mekanisme pertahanan diri ini
bergerak di antara normal dan abnormal. Apabila mekanisme tersebut mendistorsi
kenyataan dan melemahkan hubungan social, serta mengarah kepada kerusakan ego,
maka mekanisme itu termasuk maladjusment (abnormal).
2)
Reaksi Menyerang
Agresi dapat diartikan sebagai sebuah
bentuk respon untuk mereduksi ketegangan dan frustasi melalui media tingkah
laku yang merusak, berkuasa, atau mendominasi.
Berbeda dengan mekanisme penyesuaian
diri yang lainnya, reaksi agresi tidak berkontribusi bagi kesejahteraan
rohaniah individu atau penyelesaian masalah yang dihadapinya.
Agresi ini terefleksi dalam tingkah laku
verbal dan nonverbal. Contoh yang verbal: berkata kasar, bertengkar, panggilan
nama yang jelek, jawaban yang kasar, sarkasme (perkataan yang menyakitkan
hati), dan kritikan yang tajam. Sementara contoh yang nonverbal, di antaranya:
menolak atau melanggar aturan (tidak disiplin), memberontak, berkelahi
(tawuran), mendominasi orang lain, dan membunuh.
Agresi ini dipengaruhi beberapa factor,
yaitu sebagai berikut:
Fisik: sakit-sakitan atau mempunyai penyakit yang sulit disembuhkan.
Psikis: ketidakmampuan atau ketidakpuasan dalam memenuhi Kebutuhan
dasar, seperti rasa aman, kasih sayang, kebebasan, dan pengakuan social.
Social: perhatian orangtua yang sangat membatasi atau sangat memanjakan,
hubungan antar anggota keluarga yang tidak harmonis, hubungan guru siswa yang
negative, kondisi sekolah yang tidak nyaman, kegagalan dalam pernikahan,
kondisi pekerjaan yang tidak nyaman atau di-PHK (pemutusan hubungan kerja).
Lebih lanjut dikemukakan gejala-gejala
perilaku sikap agresif, yaitu sebagai berikut (M. Surya, 1976).
o Selalu membenarkan diri sendiri.
o Mau berkuasa dalam setiap situasi.
o Mau memiliki segalanya.
o Bersikap senang mengganggu orang lain.
o Menggertak, baik dengan ucapan atau perbuatan.
o Menunujukkan sikap permusuhan secara terbuka.
o Menunjukkan sikap menyerang dan merusak.
o Keras kepala.
o Bersikap balas dendam.
o Memperkosa hak orang lain.
o Bertindak serampangan (impulsif)
o Marah secara sadis.
Bentuk mekanisme yang sangat dekat
hubungannya dengan agresi adalah “delinquency”, karena kedua-duanya merupakan
sikap perlawanan terhadap kondisi yang memfrustasikan pemenuhan Kebutuhan atau
keinginannya. Delinquency dapat diartikan sebagai tingkah laku individu atau
kelompok yang melanggar norma moral yang dijunjung tinggi masyarakat, yang
menyebabkan terjadinya konflik antara individu dengan kelompok atau masyarakat.
Tingkah laku nakal (delinquency) dapat
dipandang sebagai upaya untuk memenuhi Kebutuhan, dan mereduksi ketegangan,
frustasi, dan konflik yang disebabkan oleh tuntutan tersebut.
Healy dan Bronner (Schneiders, 1964:354)
mengemukakan tentang karakteristik “delinquency” itu sebagai berikut:
Penolakan terhadap situasi yang tidak menyenangkan dengan cara “escape”
atau “flight” (melarikan diri) dari situasi tersebut.
Memperoleh kepuasan pengganti melalui “delinquency”.
Upaya memperoleh kepuasan ego, melalui pernyataan sikap balas dendam
secara langsung, baik disadari maupun tidak, sebagai ekspresi dari keinginannya
yang tersembunyi untuk menghukum orangtua atau orang lain dengan melakukan
perbuatan yang dapat menimbulkan kesulitan hidup bagi dirinya.
Upaya memperoleh kepuasan pribadi secara maksimum melalui perilaku
agresif, sikap anti social , dan permusuhan terhadap orang-orang yang memiliki
otoritas.
Berkembangnya perilaku “delinquency”
disebabkan oleh beberapa factor, yaitu sebagai berikut:
Factor Psikologis: inferioritas, perasaan tidak aman, tersisihkan dari
kelompok (tidak mendapat pengakuan kelompok), kurang mendapat kasih sayang, dan
gagal memperoleh prestasi.
Factor Lingkungan: broken home, perlakuan orangtua yang sering
menghukum, sikap penolakan orangtua, hubungan antar anggota keluarga yang tidak
harmonis, iklim kehidupan (social, moral dan agama) masyarakat yang tidak
kondusif, dan kondisi ekonomi yang morat-marit.
3)
Reaksi Melarikan Diri dari Kenyataan
Reaksi “escape'” dan “withdrawal”
merupakan perlawanan pertahanan diri individu terhadap tuntutan, desakan, atau
ancaman dari lingkungan dimana dia hidup. “Escape” merefleksikan perasaan jenuh,
atau putus asa; sementara “withdrawal” mengindikasikan kecemasan, atau
ketakutan. Bentuk-bentuk reaksi “escape” dan “withdrawal” ini diantaranya: (a)
berfantasi – melamun, (b) banyak tidur, atau tidur yang patologis: narcolepcy,
yaitu kebiasaan tidur yang tak terkontrol, (c) meminum-minuman keras, (d) bunuh
diri, (e) menjadi pecandu ganja, narkotika, shabu-shabu atau ecstacy, dan (f)
regresi.
Contoh: seorang siswa mengalami
frustrasi, karena prestasi belajarnya di sekolah rendah. Akhirnya dia menjadi sering
melamun (day dreaming). Dia melarikan diri dari dunia nyata dan mencari
kepuasan di dunia tak nyata (melamun).
Reaksi “escape” dan “withdrawal”
berkembang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut:
a.
Psikologis:
frustrasi, konflik, ketakutan, perasaan tertindas, dan kemiskinan emosional.
b.
Lingkungan
keluarga: orangtua terlalu memanjakan anak, orangtua bersikap menolak terhadap
anak, dan orangtua menerapkan disiplin yang keras terhadap anak.
4)
Penyesuaian yang Patologis
Penyesuaian yang patologis ini berarti
bahwa individu yang mengalaminya perlu mendapat perawatan khusus, dan bersifat
klinis, bahkan perlu perawatan di rumah sakit (hospitalized). Yang terrnasuk
penyesuaian yang patologis ini adalah “neurosis” dan “psikosis.”
Untuk membantu para siswa atau mahasiswa
agar tercegah dari sikap dan perilaku salah suai di atas, maka pihak sekolah
atau perguruan tinggi hendaknya memberikan bantuan agar setiap siswa
(mahasiswa) mampu menyesuaikan diri dengan baik dan terhindar dari timbulnya
gejala-gejala salah suai. Sekolah hendaknya menempatkan diri sebagai suatu
lingkungan yang memberikan kemudahan-kemudahan untuk tercapainya penyesuaian
yang baik.
Di atas dikatakan bahwa jika individu
gagal dalam penyesuaian diri, maka ia akan sampai pada suatu situasi salah
suai. Gejala-gejala salah suai ini akan dimanifestasikan dalam bentuk tingkah
laku yang kurang wajar atau kelainan tingkah laku.
Gejala-gejala tingkah laku salah suai
tersebut seringkali menimbulkan berbagai masalah. Hal tersebut tentu saja tidak
dapat dibiarkan terus, karena akan mengganggu baik bagi individu itu sendiri
maupun bagi lingkungan.
Mereka yang menunjukkan gejala-gejala
kelainan tingkah laku mempunyai luvondenmgan gagal dalam proses pendidikannya.
Oleh karena itu diperlukan adanya suatu usaha nyata untuk menanggulangi
grjala-gejala terscbut, dalam hubungan ini bimbingan dan konseling mempunyai
peranan yang cukup penting.
5. Masalah belajar
Dalam seluruh proses pendidikan, belajar
merupakan kegiatan inti. Pendidikan itu sendiri dapat diartikan sebagai bantuan
perkembang-an melalui kegiatan belajar. Secara psikologis belajar dapat
diartikan sebagai proses memperoleh perubahan tingkah laku (baik dalam
kognitif, af’ektif, maupun psikomotor) untuk memperoleh respons yang diperlukan
dalam interaksi dengan lingkungan secara efisien.
Dalam kegitatan belajar dapat timbul
berbagai masalah baik bagi pelajar itu sendiri maupun bagi pengajar. Misalnya
bagaimana menciptakan knndisi yang baik agar berhasil, memilih metode dan
alat-alat sesuai dengan jonis dan situasi belajar, membuat rencana belajar bagi
siswa, menyesuaikan proses belajar dengan keunikan siswa, penilaian hasil
belajar, diagnosis kesulitan belajar, dan sebagainya. Bagi siswa sendiri,
masalah-masalah belajar yang mungkin timbul misalnya pengaturan waktu belajar,
memilih cara belajar, menggunakan buku-buku pelajaran, belajar berkelompok,
mempersiapkan ujian, memilih mata pelajaran yang cocok, dan sebagainya.
Keberhasilan belajar siswa/mahasiswa itu
sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal (yang bersumber dari
dalam diri sendiri) maupun eksternal (yang bersumber dari luar atau
lingkungan).
a. Faktor Internal
Ada beberapa faktor yang harus
dipenuhinya agar belajarnya berhasil. Syarat-syarat itu meliputi fisik dan
psikis. Yang termasuk faktor fisik, di antaranya: nutrisi (gizi makanan),
kesehatan dan keberfungsian fisik (terutama pancaindera). Kekurangan nutrisi
dapat mengakibatkan kelesuan, lekas mengantuk, lekas lelah, dan kurang bisa
konsentrasi. Penyakit juga dapat mempengaruhi keberhasilan belajar, apabila
penyakit itu bersifat kronis atau terus menerus dan mengganggu kenyamanan.
Pancaindera pun sangat berpengaruh terhadap belajar, ka-rena merupakan pintu
gerbang masuknya informasi dari luar. Oleh karena itu, pemeliharaan yang
intensif sangat penting bagi individu. Sementara yang masuk faktor psikis di
antaranya adalah kecerdasan, motivasi, minat, sikap dan kebiasaan belajar, dan
suasana emosi. Apabila kedua faktor tersebut tidak terpenuhi atau mengalami
gangguan, maka kemungkinan besar individu akan mengalami kesulitan belajar.
Menurut W.H. Burton (Syamsu Yusuf LN
dkk., 1992) faktor internal yang mengakibatkan kesulitan belajar adalah sebagai
berikut.
Ketidakseimbangan mental atau gangguan
fungsi mental: (a) kurangnya kemampuan mental yang bersifat potensial
(kecerdasan); (b) kurangnya kemampuan mental, seperti kurang perhatian, adanya
kelainan, lemah dalam berusaha, menun-jukkan kegiatan yang berlawanan,
kurangnya enerji untuk bekerja atau belajar karena kekurangan makanan yang
bergizi, kurangnya penguasaan terhadap kebiasaan belajar dan hal-hal
fundamental; dan (c) kesiapan diri yang kurang matang.
Gangguan fisik: (a) kurang berfungsinya
organ-organ perasaan, alat-alat bicara; dan (b) gangguan kesehatan
(sakit-sakitan).
Gangguan emosi: (a) merasa tidak aman,
(b) kurang bisa menyesuaikan diri, baik dengan orang, situasi, maupun
kebutuhan; (c) adanya perasaan yang kompleks (tidak karuan), perasaan takut
yang berlebihan (phobi), perasaan ingin melarikan diri atau menghindar dari
masalah yang dialami; dan (d) ketidakmatangan emosi.
b. Faktor Eksternal
Faktor ini meliputi aspek-aspek sosial
dan nonsosial. Yang dimak-sud dengan faktor sosial adalah faktor manusia, baik
yang hadir secara langsung (bertatap muka atau berkomunikasi langsung), maupun
kehadirannya secara tidak langsung, seperti: berupa foto, suara (nyanyian,
pembicaraan) dalam radio, TV, dan tape recorder. Sedangkan yang termasuk faktor
nonsosial adalah: keadaan suhu udara (panas, dingin), waktu (pagi, siang,
malam), suasana lingkungan (sepi, bising atau ramai), keadaan tempat (kualitas
gedung, luas ruangan, kebersihan, ventilasi, dan kelengkapan mebeler),
kelengkapan alat-alat atau fasilitas belajar (ATK, alat peraga, buku-buku
sumber, dan media komunikasi belajar lainnya).
Jadi jelas bahwa dalam kegiatan belajar
ini banyak masalah-masalah yang timbul terutama yang dirasakan oleh siswa
sendiri. Sekolah mempunyai tanggung jawab yang besar dalam membantu siswa agar
mereka berhasil dalam belajar. Untuk itu hendaknya sekolah memberikan bantuan
kepada siswa dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam kegiatan
belajar. Di sinilah penting dan perlunya program bimbingan dan konseling untuk
membantu agar mereka berhasil dalam belajar.
Layanan bantuan yang seyogianya
diberikan kepada para siswa adalah bimbingan belajar. Bimbingan belajar ini
meliputi beberapa kegiatan layanan, baik yang bersifat preventif maupun
kuratif. Layanan yang bersifat preventif di antaranya dengan pemberian layanan
informasi sebagai berikut: (a) Sikap dan kebiasaan belajar yang positif; (b)
Cara membaca buku yang efektif; (c) Cara membuat catatan pelajaran; (d) Cara
mengikuti kegiatan belajar di dalam dan di luar kelas; (e) Cara belajar
kelompok; dan (f) Teknik menyusun laporan.
Adapun bimbingan belajar yang bersifat
kuratif adalah layanan bantuan bag! para siswa yang memiliki masalah atau
kesulitan belajar. Untuk meinbantu mereka, maka dilakukan langkah-langkah
sebagai brrikut.
Mengidentifikasi kasus, dengan cara (1)
membandingkan nilai setiap siswa dengan nilai batas lulus kelompok, dan (2)
menerima laporan dari sol.iap guru atau wali kelas tentang aktivitas belajar
setiap siswa yang diduga bermasalah dalam belajar.
Mengidentifikasi. letaknya masalah,
dengan cara (1) melihat kawasan tujtian belajar mana yang belum tercapai, dan
(2) melihat ruang lingkup atau bahan ajar mana yang belum dikuasai.
Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab
kesulitan belajar (diagnosis). Faktor-faktor penyebab ini dapat
diklasifikasikan ke dalam dua laktor, yaitu: internal (yang berasal atau
bersumber dari diri siswa itu sendiri) dan eksternal (yang bersumber dari luar
atau lingkungan).
Prognosis, mengambil kesimpulan dan
keputusan serta meramalkan kemungkinan penyembuhannya.
Treatment, pemberian layanan bantuan
sesuai dengan prognosis yang telah dilakukan.
B.
Pendekatan-pendekatan Umum dalam Bimbingan &
Konseling
Dilihat dari pendekatan bimbingan,
bimbingan itu dibagi menjadi 4 pendekatan yaitu : (1) pendekatan krisis; (2)
pendekatan remedial; (3) pendekatan preventif; (4) pendekatan perkembangan.
a. Pendekatan Krisis
Pendekatan krisis adalah upaya bimbingan
yang diarahkan kepada individu yang mengalami krisis atau masalah. Bimbingan
bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah yang dialami individu. Dalam
pendekatan krisis ini, konselor menunggu klien yang datang, selanjutnya mereka
memberikan bantuan sesuai dengan masalah yang dirasakan klien.
Pendekatan ini banyak dipengaruhi oleh
aliran psikoanalisis. Psikoanalisis terpusat pada pengaruh masa lampau sebagai
suatu hal yang menentukan bagi fungsinya kepribadian pada masa kini.
Pengalaman-pengalaman pada masa lima atau enam tahun pertama dari kehidupan
individu dipandang sebagai akar dari krisis individu yang bersangkutan pada masa
kini.
b. Pendekatan Remedial
Pendekatan remedial adalah upaya
bimbingan yang diarahkan kepada individu yang mengalami kesulitan. Tujuan
bimbingan adalah untuk memperbaiki kesulitan-kesulitan yang dialami individu.
Dalam pendekatan ini konselor memfokuskan pada kelemahan-kelemahan individu
yang selanjutnya berupaya untuk memperbaikinya.
Pendekatan remedial ini banyak
dipengaruhi oleh aliran psikologi behavioristik. Pendekatan behavioristik ini
menekankan pada perilaku klien di sini dan saat ini. Perilaku saat ini dari
individu dipengaruhi oleh suasana lingkungan pada saat ini pula. Oleh sebab itu
untuk memperbaiki perilaku individu perlu ditata lingkungan yang mendukung
untuk perbaikan perilaku tersebut.
c. Pendekatan Preventif
Pendekatan preventif adalah upaya
bimbingan yang diarahkan untuk mengantisipasi masalah-masalah umum individu dan
mencoba mencegah jangan sampai terjadi masalah tersebut pada individu. Konselor
berupaya untuk mengajarkan pengetahuan dan keterampilan untuk mencegah masalah
tersebut.
Pendekatan kuratif ini tidak didasari
oleh teori tertentu yang khusus. Pendekatannya dapat dikatakan mempunyai banyak
teknik terapi, tetapi hanya sedikit konsep.
d. Pendekatan
Perkembangan
Bimbingan dan konseling yang berkembang
pada saat ini adalah bimbingan dan konseling perkembangan. Visi bimbingan dan
konseling adalah edukatif, pengembangan, dan outreach. Edukatif karen titik
berat kepedulian bimbingan dan konseling terletak pada pencegahan dan
pengembangan, bukan pada korektif atau terapeutik, walaupun hal itu tetap ada
dalam kepedulian bimbingan dan konseling perkembangan. Pengembangan, karena
titik sentral tujuan bimbingan dan konseling adalh perkembangan optimal dan
strategi upaya pokoknya adalah memberikan kemudahan perkembangan bagi individu melalui perekayasaan lingkungan
perkembangan. Outreach, karena target populasi layanan bimbingan dan konseling
tidak terbatas kepada individu bermasalah dan dilakukan secara individual
tetapi meliputiragam dimensi (masalah, target intervensi, setting, metode, lama
waktu layanan) dalam rentang yang cukup lebar. Teknik yang digunakan dalam
bimbingan dan konseling perkembangan adalah pembelajaran, pertukaran informasi,
bermain peran, tutorial dan konseling. (Muro and Kottman, 199:5)
2.3 Strategi Pelaksanaan Layanan Bimbingan
dan Konseling
Strategi pelaksanaan layanan bimbingan
dan konseling terkait dengan empat komponen program yaitu: (1) layanan dasar; (2)
layanan responsif; (3) perencanaan individual; dan (4) dukungan sistem.
1. Strategi untuk Layanan Dasar
Bimbingan
a. Bimbingan Klasikal
Layanan dasar diperuntukkan bagi semua
siswa. Hal ini berarti bahwa dalam peluncuran program yang telah dirancang
menuntut konselor untuk melakukan kontak langsung dengan para siswa di kelas.
Secara terjadwal, konselor memberikan layanan bimbingan kepada para siswa.
Kegiatan layanan dilaksanakan melalui pemberian layanan orientasi dan informasi
tentang berbagai hal yang dipandang bermanfaat bagi siswa. Layanan orientasi
pada umumnya dilaksanakan pada awal pelajaran, yang diperuntukan bagi para
siswa baru, sehingga memiliki pengetahuan yang utuh tentang sekolah yang
dimasukinya. Kepada siswa diperkenalkan tentang berbagai hal yang terkait
dengan sekolah, seperti : kurikulum, personel (pimpinan, para guru, dan staf
administrasi), jadwal pelajaran, perpustakaan, laboratorium, tata-tertib
sekolah, jurusan (untuk SLTA), kegiatan ekstrakurikuler, dan fasilitas sekolah
lainnya. Sementara layanan informasi merupakan proses bantuan yang diberikan
kepada para siswa tentang berbagai aspek kehidupan yang dipandang penting bagi
mereka, baik melalui komunikasi langsung, maupun tidak langsung (melalui media
cetak maupun elektronik, seperti : buku, brosur, leaflet, majalah, dan internet).
Layanan informasi untuk bimbingan klasikal dapat mempergunakan jam pengembangan
diri. Agar semua siswa terlayani kegiatan bimbingan klasikal perlu terjadwalkan
secara pasti untuk semua kelas.
b. Bimbingan Kelompok
Konselor memberikan layanan bimbingan
kepada siswa melalui kelompok-kelompok kecil (5 s.d. 10 orang). Bimbingan ini
ditujukan untuk merespon kebutuhan dan minat para siswa. Topik yang
didiskusikan dalam bimbingan kelompok ini, adalah masalah yang bersifat umum
(common problem) dan tidak rahasia, seperti : cara-cara belajar yang efektif,
kiat-kiat menghadapi ujian, dan mengelola stress. Layanan bimbingan kelompok
ditujukan untuk mengembangkan keterampilan atau perilaku baru yang lebih
efektif dan produktif.
c. Berkolaborasi dengan Guru
Mata Pelajaran atau Wali Kelas
Program bimbingan akan berjalan secara
efektif apabila didukung oleh semua pihak, yang dalam hal ini khususnya para
guru mata pelajaran atau wali kelas. Konselor berkolaborasi dengan guru dan
wali kelas dalam rangka memperoleh informasi tentang siswa (seperti prestasi
belajar, kehadiran, dan pribadinya), membantu memecahkan masalah siswa, dan
mengidentifikasi aspek-aspek bimbingan yang dapat dilakukan oleh guru mata
pelajaran. Aspek-aspek itu di antaranya :
1)
menciptakan
sekolah dengan iklim sosio-emosional kelas yang kondusif bagi belajar siswa;
2)
memahami
karakteristik siswa yang unik dan beragam;
3)
menandai siswa
yang diduga bermasalah;
4)
membantu siswa
yang mengalami kesulitan belajar melalui program remedial teaching;
5)
mereferal
(mengalihtangankan) siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling
kepada guru pembimbing;
6)
memberikan
informasi tentang kaitan mata pelajaran dengan bidang kerja yang diminati
siswa;
7)
memahami
perkembangan dunia industri atau perusahaan, sehingga dapat memberikan
informasi yang luas kepada siswa tentang dunia kerja (tuntutan keahlian kerja,
suasana kerja, persyaratan kerja, dan prospek kerja);
8)
menampilkan
pribadi yang matang, baik dalam aspek emosional, sosial, maupun moral-spiritual
(hal ini penting, karena guru merupakan “figur central” bagi siswa);
9)
memberikan
informasi tentang cara-cara mempelajari mata pelajaran yang diberikannya secara
efektif.
d. Berkolaborasi (Kerjasama)
dengan Orang Tua
Dalam upaya meningkatkan kualitas peluncuran
program bimbingan, konselor perlu melakukan kerjasama dengan para orang tua
siswa. Kerjasama ini penting agar proses bimbingan terhadap siswa tidak hanya
berlangsung di sekolah, tetapi juga oleh orang tua di rumah. Melalui kerjasama
ini memungkinkan terjadinya saling memberikan informasi, pengertian, dan tukar
pikiran antar konselor dan orang tua dalam upaya mengembangkan potensi siswa
atau memecahkan masalah yang mungkin dihadapi siswa. Untuk melakukan kerjasama
dengan orang tua ini, dapat dilakukan beberapa upaya, seperti : (1) kepala
sekolah atau komite sekolah mengundang para orang tua untuk datang ke sekolah
(minimal satu semester satu kali), yang pelaksanaannnya dapat bersamaan dengan
pembagian rapor, (2) sekolah memberikan informasi kepada orang tua (melalui
surat) tentang kemajuan belajar atau masalah siswa, dan (3) orang tua diminta
untuk melaporkan keadaan anaknya di rumah ke sekolah, terutama menyangkut
kegiatan belajar dan perilaku sehari-harinya.
2. Strategi untuk Layanan
Responsif
a. Konsultasi
Konselor memberikan layanan konsultasi
kepada guru, orang tua, atau pihak pimpinan sekolah dalam rangka membangun
kesamaan persepsi dalam memberikan bimbingan kepada para siswa.
b. Konseling Individual atau
Kelompok
Pemberian layanan konseling ini
ditujukan untuk membantu para siswa yang mengalami kesulitan, mengalami
hambatan dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya. Melalui konseling, siswa
(klien) dibantu untuk mengidentifikasi masalah, penyebab masalah, penemuan
alternatif pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan secara lebih tepat.
Konseling ini dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. Konseling
kelompok dilaksanakan untuk membantu siswa memecahkan masalahnya melalui
kelompok. Dalam konseling kelompok ini, masing-masing siswa mengemukakan
masalah yang dialaminya, kemudian satu sama lain saling memberikan masukan atau
pendapat untuk memecahkan masalah tersebut.
c. Referal (Rujukan atau Alih
Tangan)
Apabila konselor merasa kurang memiliki
kemampuan untuk menangani masalah klien, maka sebaiknya dia mereferal atau
mengalihtangankan klien kepada pihak lain yang lebih berwenang, seperti
psikolog, psikiater, dokter, dan kepolisian. Klien yang sebaiknya direferal
adalah mereka yang memiliki masalah, seperti depresi, tindak kejahatan
(kriminalitas), kecanduan narkoba, dan penyakit kronis.
d. Bimbingan Teman Sebaya (Peer
Guidance/Peer Facilitation)
Bimbingan teman sebaya ini adalah
bimbingan yang dilakukan oleh siswa terhadap siswa yang lainnya. Siswa yang menjadi
pembimbing sebelumnya diberikan latihan atau pembinaan oleh konselor. Siswa
yang menjadi pembimbing berfungsi sebagai mentor atau tutor yang membantu siswa
lain dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, baik akademik maupun
non-akademik. Di samping itu dia juga berfungsi sebagai mediator yang membantu
konselor dengan cara memberikan informasi tentang kondisi, perkembangan, atau
masalah siswa yang perlu mendapat layanan bantuan bimbingan atau konseling.
C. Strategi
untuk Layanan Perencanaan Individual
a. Penilaian Individual atau
Kelompok (Individual or small-group Appraisal)
Yang dimaksud dengan penilaian ini
adalah konselor bersama siswa menganalisis dan menilai kemampuan, minat,
keterampilan, dan prestasi belajar siswa. Dapat juga dikatakan bahwa konselor
membantu siswa menganalisis kekuatan dan kelemahan dirinya, yaitu yang
menyangkut pencapaian tugas-tugas perkembangannya, atau aspek-aspek pribadi,
sosial, belajar, dan karier. Melalui kegiatan penilaian diri ini, siswa akan
memiliki pemahaman, penerimaan, dan pengarahan dirinya secara positif dan
konstruktif.
b. Individual or Small-Group
Advicement
Konselor memberikan nasihat kepada siswa
untuk menggunakan atau memanfaatkan hasil penilaian tentang dirinya, atau
informasi tentang pribadi, sosial, pendidikan dan karir yang diperolehnya untuk
(1) merumuskan tujuan, dan merencanakan kegiatan (alternatif kegiatan) yang
menunjang pengembangan dirinya, atau kegiatan yang berfungsi untuk memperbaiki
kelemahan dirinya; (2) melakukan kegiatan yang sesuai dengan tujuan atau
perencanaan yang telah ditetapkan, dan (3) mengevaluasi kegiatan yang telah
dilakukannya.
4. Strategi untuk Dukungan
Sistem
a. Pengembangan Professional
Konselor secara terus menerus berusaha
untuk “meng-update” pengetahuan dan keterampilannya melalui (1) in-service
training, (2) aktif dalam organisasi profesi, (3) aktif dalam kegiatan-kegiatan
ilmiah, seperti seminar dan workshop (lokakarya), atau (4) melanjutkan studi ke
program yang lebih tinggi (Pascasarjana).
b. Pemberian Konsultasi dan
Berkolaborasi
Konselor perlu melakukan konsultasi dan
kolaborasi dengan guru, orang tua, staf sekolah lainnya, dan pihak institusi di
luar sekolah (pemerintah, dan swasta) untuk memperoleh informasi, dan umpan
balik tentang layanan bantuan yang telah diberikannya kepada para siswa,
menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif bagi perkembangan siswa, melakukan
referal, serta meningkatkan kualitas program bimbingan dan konseling. Dengan
kata lain strategi ini berkaitan dengan upaya sekolah untuk menjalin kerjasama
dengan unsur-unsur masyarakat yang dipandang relevan dengan peningkatan mutu
layanan bimbingan. Jalinan kerjasama ini seperti dengan pihak-pihak (1)
instansi pemerintah, (2) instansi swasta, (3) organisasi profesi, seperti ABKIN
(Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia), (4) para ahli dalam bidang
tertentu yang terkait, seperti psikolog, psikiater, dokter, dan orang tua
siswa, (5) MGBK (Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling), dan (6) Depnaker
(dalam rangka analisis bursa kerja/lapangan pekerjaan).
c. Manajemen Program
Suatu program layanan bimbingan dan
konseling tidak mungkin akan tercisekolaha, terselenggara, dan tercapai bila
tidak memiliki suatu sistem pengelolaan (manajemen) yang bermutu, dalam arti
dilakukan secara jelas, sistematis, dan terarah. Mengenai arti manajemen itu
sendiri Stoner (1981) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: “Management is
the process of planning, organizing, leading and controlling the efforts of
organizing members and of using all other organizational resources to achieve
stated organizational goals”.
IMPLIKASI
Pembimbing, Guru, dan personel sekolah
lainnya perlu mendapatkan penambahan, perluasan, atau pendalaman tentang
konsep-konsep atau keterampilan-keterampilan tertentu tentang bimbingan dan
Konseling sangat diperlukan untuk menciptakan pelayanan bimbingan secara
bermutu.
Selain itu, konselor perlu melakukan
konsultasi dan kolaborasi dengan guru, orang tua, staf sekolah lainnya, dan
pihak instansi di luar sekolah (pemerintah dan swasta) untuk memberikan layanan
bimbingan dan konseling secara akurat dan bijaksana, dalam upaya memfasilitasi
individu atau peserta didik mengembangkan potensi dirinya secara optimal, untuk
memperoleh informasi, dan umpan balik tentang layanan bantuan yang telah
diberikannya kepada para siswa, menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif
bagi perkembangan siswa, melakukan referal, serta meningkatkan kualitas program
layanan bimbingan dan konseling.
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf, Syamsu., dan A.
Juntika Nurihsan. 2008. Landasan Bimbingan & Konseling. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Winkel, W.S. 1982.
Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah Menengah. Jakarta: PT Gramedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar